si nomor dua

90.3K 7.8K 108
                                    

"Ck, coba liat siapa yang dari kemarin nolak dateng ke reuni, tapi justru pake baju paling heboh sekarang!" seru Arum seraya geleng-geleng kepala saat melihat penampilanku malam ini. Tetapi aku dapat melihat bibirnya menyerigai senang, menandakan jika ia puas dengan pilihan bajuku hari ini.

Reuni SMA Pemuda tahun ini mengusung tema vintage dengan dress code: black and white. Membuatku mengingat buku tahunan sekolah yang juga mengusung tema ini pada masa lalu. Siapa pun panitia yang mengusulkan tema ini, aku yakin ia sangat ingin bernostalgia dengan masa SMA-nya.

Hari ini aku menggunakan 'little black dress' seperti yang dikenakan Audrey Hepburn saat bermain di film Breakfast at Tiffany's. Rambut panjangku aku biarkan tergerai dan sepasang anting mutiara masing-masing terpasang di telinga kanan dan kiri. Bibirku aku poles dengan lipstik berwarna merah darah dan kakiku dihiasi high heels 7 cm yang aku yakin akan membuat kakiku lecet malam ini. But yeah ... beauty is pain, baby! Selalu ada harga yang harus dibayar saat kamu terlalu serakah dan mendamba kata 'sempurna'. Karena nyatanya tidak ada yang sempurna di dunia ini.

"Tapi gimana penampilan gue malam ini?"

"Perfect! Ya, apa pun rencana lo malam ini gue yakin bakal berhasil," ujar Arum seraya mengacungkan jadi jempolnya.

Aku langsung menarik sudut bibirku saat mendengar perkataan Arum. Sebenarnya aku tidak merencanakan apa-apa. Tapi daripada jadi 'badut' yang jadi pusat perhatian karena ketololanku sendiri di masa lalu. Lebih baik aku jadi pusat perhatian dengan lebih elegan. People change, kalau mereka semua masih berpikir kalau aku adalah Kanthi yang dulu, mereka benar-benar salah besar!

Setelah memakirkan mobil aku dan Arum pun segera masuk ke dalam Berlian dengan dagu diangkat tinggi-tinggi. Begitu memasuki ballroom suara merdu Ardhito Sahala langsung menyambut kami.

"Lo kemarin bilang kalo booking Berlian susah, tapi liat noh Gibran booking owner-nya sekalian. Yakin lo nggak lagi ngerjain gue?" tanyaku seraya memutar bola mata malas.

"Semua mudah kalo privilege lo segudang, babe! Bapaknya Gibran kan yang punya Bintang Entertainment-agensinya si Dhito. Jadi, wajar sih kalo bisa ngundang Ardhito Sahala sekalian. Dan yups! Gue emang ngerjain lo. So, nggak usah banyak bacot and enjoy the party, baby!" seru Arum seraya menghampiri meja nomor lima belas sesuai undangan.

Langkahku sontak berhenti karena dihalangi manusia tiang yang senyumnya ternyata masih saja menyebalkan setelah sepuluh tahun lalu. "Wow ... stunning as always," ujar Sergio seraya menatap penampilanku dari ujung kaki sampai kepala.

"Oh, hai Sergio Bastard-ups sorry my bad. Maksud gue Sergio Bastian, bisa nggak lo enyah dari hadapan gue? Lo ngalangin jalan gue," ujarku seraya menantang matanya berani.

Sergio bergeser ke kiri. "Of course, princess. Silahkan lewat," ujarnya seraya menyerigai makin lebar. Aku tak menanggapi ucapannya dan kembali berjalan, tapi Sergi menangkap lenganku saat tubuhku dan tubuhnya sejajar. Sehingga kini jarak yang ada di antara kami hanya sejengkal. Lalu pria itu berbisik di telingaku. "Di lantai atas ada bar dan minumannya enak-enak. Mau ke sana aja?" tanyanya seraya mengedip jahil.

Aku menatap Sergio datar. "Seriously, Sergi, lo masih sebegini menyedihkannya bahkan setelah sepuluh tahun berlalu? Move on, dude, karena sampai mati pun gue nggak bakalan pernah mau kencan sama lo. Gue udah nolak lo waktu SMA, dan bakal ngelakuin hal yang sama today. Atau besok, besoknya lagi, besoknya lagi. Sorry, gue nggak tertarik sama cowok bajingan," ujarku dengan suara gemetar-menahan amarah.

Aku memang sudah membayangkan akan bertemu dengan banyak manusia menyebalkan malam ini. Namun, sungguh aku tidak menyangkan akan langsung bertemu dengan Sergio-salah satu orang yang membuat masa putih abu-abuku kelabu.

Kejadian menyakitkan itu kembali berputar seperti kaset rusak yang sudah diputar ribuan kali, membuat kepalaku mulai berdenyut nyeri.

No, lo udah lebih kuat, Kanthi. Tahan.

Wajah Sergi tampak memerah menahan amarah, tapi kemudian ia tertawa kencang. "Ck, lo masih aja munafik, Kanthi. Lo nggak pernah mau kencan sama gue, tapi mau sama dia? Emangnya apa bedanya gue sama dia?" tanyanya dengan nada mengejek.

Aku mengepalkan kedua tangan-menahan amarah. Sergio sialan! Si brengsek itu benar-benar membuat mood-ku anjlok. Tubuhku gemeteran dan keringat dingin mulai mengalir di punggung.

Dasar anak nggak tahu diri harusnya lo nggak pernah lahir!

Lo harusnya mati di kandungan!

Lo nggak pantes dicintai!

Lo nggak pantes dicintai!

Lo nggak pantes dicintai!

Kata-kata itu terus berdengung di telinga dan membuatku sesak. Hingga tanpa sadar aku menekan kuku jempolku ke telunjuk keras-keras. Hingga telunjukku terasa perih, aku yakin pasti jemariku itu sudah berdarah sekarang.

Untuk beberapa saat aku seperti terseret ke masa lalu, hingga akhirnya perlahan-lahan kesadaranku mulai kembali karena rasa sakit di jari telunjukku semakin menyengat.

Kali ini aku yang tersenyum miring. "Oh, jelas lo sama dia beda, Sergi. Dia bakal selalu jadi yang pertama, sedangkan lo adalah si nomor dua. Makanya bahkan gue yang dulu cupu pun tahu, harus milih siapa."

Setelah itu aku berjalan ke meja nomor lima belas tanpa memedulikan umpatan Sergio di belakang sana. Begitu bertatapan dengan Arum aku langsung berusaha tersenyum selebar mungkin. Lalu aku menyambar tisu yang ada di meja dan membalut telunjukku dengan tisu tersebut. Hingga tisu yang berwarna putih itu perlahan-lahan berubah menjadi warna merah.

Datang ke reuni itu seru my ass, Le. Gue kasih bintang satu buat review satu ini. Dan poor me, bahkan gue belum ada lima belas menit di sini!

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now