his hand feels good in mine

85.1K 4.3K 159
                                    

10 Tahun lalu,

“Dasar kalian pengkhianat! Saat gue jomlo, kalian malah punya pacar. Mana kesetiakawanan kalian, hah?” oceh Jessica seraya duduk di kursi depan, tapi dengan gayanya yang serampangan, gadis itu duduk menghadap kami berdua.

“Je, inget nggak lo pertama kali pacaran kapan? Kelas 7! Tandanya lo udah ngekhianatin gue sama Arum selama 6 tahun terakhir, tapi kita nggak pernah protes tuh!”

“Dih, mana ada gue mulai pacaran dari kelas 7? Gue sama Aiden cuma HTS-an, kebetulan kita sama-sama suka anime, jadinya obrolan kita nyambung. Ngobrolin perang Shinobi pas jam istirahat itu sama sekali nggak bisa disebut pacaran!”

“Iya deh, terserah lo, Je! By the way, kelas lo udah listening Mandarin belum? Sialan deh mau dengerin berapa kali pun gue cuma denger Baba sama Mama.”

“Gue cuma denger wo ai ni.”

“Najis, Thi, bucin lo lebih parah daripada si Arum! Kelas gue udah sih kemarin, dan yups listening Mandarin  memang selalu kampret. Tapi tenang aja, nanti kalo nilai kita kurang Laoshi ngasih homework, kok.”

“Ya, good news, sekelas pasti dapet homework semua.” Kami bertiga bertatapan, lalu tertawa bersama. Setidaknya nanti malam grup kelas akan ramai karena diskusi PR Mandarin yang memang selalu kampret itu.

***

Aku sama sekali tidak fokus selama pelajaran Bahasa Inggris karena nyeri perut yang tak tertahankan. Dan aku langsung menghela napas lega saat akhirnya bel istirahat pertama berbunyi. Dengan cemas Arum segera menghampiriku, setiap dua minggu sekali kelasku memang mengadakan rolling tempat duduk, sehingga tempat duduk dan partner duduk kami memang selalu berubah-ubah.

“Are you okay?” tanya Arum seraya mengelus pundakku lembut. Mungkin gerak-gerikku yang aneh menarik perhatian gadis itu yang minggu ini memang kebagian duduk di bangku belakang.

“Hari pertama mens. Tapi tadi pagi gue beneran nggak ngerasain apa-apa. Tapi sekarang perut gue sakit banget,” ujarku seraya meringis nyeri.

“Shit! Bisa bayangin sih gue gimana sakitnya. Nyeri haid memang sialan. Yaudah yuk gue anterin ke UKS, nanti kalo beneran nggak kuat lo pulang aja. Gampang, nanti gue yang izinin ke Bu Starla.”

“Thanks, Rum,” ujarku seraya tersenyum yang langsung dibalas senyuman juga oleh gadis itu.

“You’re welcome sahabat gue dan Jeje yang paling nyusahin!” ujarnya bercanda yang sontak membuatku tertawa kecil seraya menahan nyeri. 

“Sialan!” makiku yang membuat tawa Arum semakin keras. Sungguh, di kehidupan SMA-ku yang biasa-biasa ini, aku sangat beruntung karena memiliki sahabat seperti Arum dan Jessica, mereka berdua banyak membantuku walau mulut keduanya kadang lebih parah daripada mie korea yang pedasnya tidak ngotak itu.

UKS sekolahku ada di gedung C dan ruangannya ada di pojok koridor. Sehingga saat jam pelajaran seperti ini UKS benar-benar sepi karena tidak mungkin ada siswa yang berlalu-lalang menuju perpustakaan atau sekedar gabut dan nongkrong di rooftop. Namun, untungnya ada suster Nadia yang sejak tadi merawat dan mengajakku ngobrol, sehingga aku tidak merasa kesepian sama sekali. Karena rasa sakit yang tak tertahankan, aku memutuskan untuk izin pulang. Namun, Mama baru menjemputku setengah jam lagi, oleh karena itu saat ini aku masih beristirahat di UKS.

“Perut kamu masih sakit banget nggak, Dek? Ini Suster mau ambil stok obat yang baru dateng di koperasi, Pak Jaya sudah telepon dari tadi.”

“Oh, perut saya sudah enakan setelah tadi minum obat, Sus. Iya nggak papa Suster ke bawah saja. Ini Mama juga paling sebentar lagi sampai. Makasih ya karena sudah merawats saya.”

“Sama-sama, Dek. Nanti kalo kram perutnya makin parah bikin teh madu saja ya di rumah. Kalau begitu saya ke bawah, ya. Nggak lama, kok.”

“Oke, Sus!” ujarku seraya mengacungkan jari jempolku.

Lalu Suster Nadia keluar UKS, meninggalkan aku sendiri yang masih meringkuk di ranjang UKS seraya sesekali meringis nyeri. Seraya menunggu Mama, aku memutuskan untuk tidur sebentar. Namun, baru saja aku memejamkan mata, suara khas pintu yang dibuka membuat aku kembali membuka kedua mataku lebar-lebar.

Apa ada anak lain yang sakit? Atau Suster Nadia meninggalkan sesuatu?

“Hai, gimana keadaan kamu?” tanya Satya dengan mimik khawatirnya yang sangat menggemaskan.

“Aku udah baikan, kok. Cuma kram perut karena mens hari pertama. Sekarang bukannya masih pelajaran keempat? Kok, kamu di sini? Oh, Pak Ketua Osis udah jago bolos ya sekarang?” tanyaku menggoda.

Aku memejamkan mata saat Satya mengecup pipi kiriku lembut. “Selama 3 tahun aku sekolah di sini. Baru kali ini aku bolos pelajaran. Tapi sebenarnya nggak sepenuhnya bolos, karena aku kan memang anggota PMR juga. Dan karena ada yang sakit dan Suster Nadia lagi ngurus obat, jadi nggak ada yang salah aku di sini.”

“Sekarang masih Senin, kamu tugasnya hari Rabu ya Ajisatya Banyusuta! Emangnya aku nggak liat jadwal PMR dari tadi.”

“Hm, ngerayu si Zain buat tukeran hari emang nggak mudah. Si kunyuk itu beneran minta sogokan macem-macem.”

“Aku beneran nggak papa kok, Sat. Ini bentar lagi Mama juga jemput. Jadi, balik ke kelas, gih. Jangan bolos,” ujarku seraya meringis karena nyeri perutku datang lagi.

Satya meraih tanganku dan menggenggam tanganku hingga rasa nyaman akibat tangkupan tangan pria itu, juga bisa aku rasakan di setiap inci kulit. 

Rasanya nyaman.

His hand feels good in mine.

“Aku yang kenapa-napa berarti. Karena pas tadi Arum SMS kamu lagi di UKS, aku jadi nggak fokus belajar, dan hari ini aku ngitung nol kali satu sama dengan lima.”

“Boong!”

“Tanya Miss Utami kalo nggak percaya,” sahut pria itu yang sontak membuat aku mengikik geli. Dasar ada-ada saja pacarku ini!

Lalu aku menguap karena rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang. Sepertinya obat yang diberikan Suster Nadia mulai bereaksi.

“Tidur, baby. Biar aku yang nunggu Mama kamu dateng.”

“Thanks, baby.” Setelah itu aku memejamkan mata dan mulai melanglang buana ke alam mimpi. Senyuman bertengger di bibirku karena Satya benar-benar membuat masa SMA-ku yang biasa-biasa ini menjadi benar-benar terasa luar biasa. 

Dia pacar pertamaku, cinta pertamaku, dan banyak hal yang aku lakukan untuk pertama kalinya di SMA saat bersama Satya. Sungguh, itu terasa luar biasa dan akan menjadi memori yang akan terus melekat di kepala. 

Dan saat aku bangun dari tidurku beberapa jam kemudian, aku menyesali karena aku telah tidur siang saat itu. Sebab, aku mendapat mimpi buruk—yang sialnya ternyata mimpi itu pada akhirnya bukan hanya sebuah kebetulan belaka. 

Tidak mungkin semua ini hanya pura-pura.

Tidak mungkin semua ini hanya permainan bagi Satya.

Iya, tidak mungkin, kan?

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now