but pain is beautiful, it's same as you

56.8K 3.7K 24
                                    

Aku merapatkan selimut untuk menutupi dadaku yang telanjang. Napas Satya yang berembus teratur di leherku menandakan jika pria itu masih berkelana di alam mimpi. Senyumanku mengembang saat mengenang kejadian tadi malam, aku masih bisa merasakan Satya di mana-mana. Di kulitku, di pembuluh darahku, di tulang-tulangku, bahkan di jiwaku. Semalam semuanya nyata, tidak hanya mimpi indah yang akan hilang saat pagi menyapa dan besoknya akan membuat aku insomnia. Satya masih di sini, ia masih memelukku, tidur di ranjang yang sama denganku, dan ia tidak ke mana-mana. 

Mungkin kali ini ia memang tidak ke mana-mana. Namun, tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga, kan? Sedia payung sebelum hujan. Kali ini aku akan memastikan kalau aku akan tetap berdiri kokoh walau nanti badai datang.

Lihat saja nanti siapa yang akhirnya menang.

“Hai, baby, morning,” sapa Satya dengan suara serak—khas bangun tidur—lalu ia mencium pipiku lembut.

Hai, morning. Lo mau gue masakin sesuatu?”

“Nggak usah. Mending kamu bersih-bersih, biarin aku yang masak buat kamu.”

“No! Kemarin lo udah masak buat gue, sekarang gantian gue yang masakin lo. Oke, masakan gue mungkin emang nggak seenak lo. Tapi biarin gue take care of you. Jadi, mending lo diem, dan biarin gue yang bikinin kita sarapan. Thanks, karena udah bikin ulang tahun gue kali ini nggak seburuk tahun lalu—“

Satya lagi-lagi mencium pipiku yang membuat aku tertawa geli. “Atau tahun lalu, tahun lalunya lagi, dan—Sat!” 

Happy birthday, baby. Dan aku sendiri yang bakal memastikan kalau ulang tahun kamu setiap tahunnya bakal bikin kamu senyum kayak gini.”

Lalu, karena tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya tersenyum seraya mencium dagu Satya. Setelah itu aku bangkit dari kasur—memunggungi Satya—dan mengambil bathrobe yang sudah tersedia di gantungan baju di samping nakas. 

Namun, gerakanku berhenti saat Satya tiba-tiba memelukku dari belakang. Pria itu menyampirkan rambut panjangku ke samping leher, sehingga kini ia bisa melihat punggungku yang telanjang.

Punggungku penuh dengan luka bekas sabetan ikat pinggang ayah. Bekas luka itu adalah hukuman karena aku sudah lahir ke dunia. Walau lukanya sudah sepenuhnya hilang hingga tersisa bekasnya saja, tapi aku masih dapat merasakan sakit dan perih yang sama. Sakit dan perih yang tidak hanya aku rasakan sampai tulang, tapi juga sakit yang dapat aku rasakan di jiwaku.

Aku menahan napasku saat Satya mulai membelai setiap bekas lukaku lembut dengan telunjuknya. 

“Punggung aku jelek karena banyak bekas lukanya. Jadi, kenapa kamu nggak liat muka aku yang cantik aja, hm?” godaku seraya berusaha berbalik badan, tapi tindakan Satya selanjutnya membuat aku hanya bisa diam dan menelan semua kata yang sudah tersusun di kepala.

Satya menciumi punggungku dengan begitu lembut. Bibir pria itu memuja punggungku dengan penuh pendambaan. Membuatku terasa terbakar dari ujung kaki sampai kepala. Membuat aku merasa menjadi wanita paling beruntung, karena dicintai begitu hebatnya.

“Sat—“

“Ssttt ... diam, baby. Biar aku buat kenangan baru yang bikin kamu lupa dengan segala kenangan buruk yang kamu punya.”

Lalu, aku tidak dapat lagi berkata-kata. Aku hanya memejamkan mataku karena ledakan endorfin, dopamin, dan adrenalin di tubuhku, membuat aku tidak mampu lagi berpikir apa-apa.

Oh, God ... lama-lama aku bisa gila.

***

Pukul empat belas lebih empat belas, akhirnya sarapan yang aku buat selesai. Aku tahu ini sudah sangat telat lagi untuk sarapan, tapi salahkan seorang Ajisatya Banyusuta yang memang selalu tahu bagaimana membuat seseorang lupa waktu bahkan hingga lupa diri—sejenak.

Hari ini aku tidak memasak makanan neko-neko, aku hanya memasak nasi goreng usus karena memang hanya ada dalaman ayam itu yang tersisa di kulkas Satya. Setelah menata piring di meja aku segera meraih ponselku yang sejak tadi bergetar, dan nama Jessica Wu terpampang jelas di layar.

“Hal—”

“Gue tahu lo benci hari ulang tahun lo. Tapi gue sama sekali nggak benci ditraktir. Gue pengen kangen ayam bakarnya Delima, nih? Gimana kalo lo traktir gue dan Arum di sana? Nanggung, sekalian Jun dan Jason, oke?”

Dan aku hanya bisa menggelengkan kepala saat mendengar rentetan kata yang baru saja Jessica muntahkan. Si sedeng itu memang tidak pernah berubah! Selalu suka to the point karena malas basa basi super basi, tapi kalau begini sih tetap saja menyebalkan sekali!

“Lo atur aja, Buk. Tapi nggak bisa malam ini atau besok. Gue ngerayain ulang tahun gue di tempat lain—“

“Pantesan lo nggak sensi padahal langsung gue palak. Aura cewek abis orgasme emang beda! Oke, gue nggak bakal gangguin lo sama Satya hari ini. Have fun, beb! Kondom jangan lupa, oke? Dan gue bakal booking Delima buat besok, ya!” 

Lalu tanpa basa basi—sekali lagi—si sedeng itu langsung mematikan teleponnya. Hingga aku lagi-lagi hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat kelakuan ibu beranak satu itu. Semoga Jun akan jadi si pendiem seperti Jason, karena aku jelas-jelas tidak akan mampu meng-handle duo sedeng sekaligus. Apalagi yang ini Jessica versi cowok. 

“Siapa yang telepon?” tanya Satya seraya mengelap rambutnya yang basah.

“Jessica, biasa si sedeng itu minta traktiran.”

Lalu aku menghampiri Satya, dan kami makan bersama. Sesekali kami tertawa dan bahagia.

Sungguh, aku tidak pernah merasakan rasa sakit yang sebahagia ini....

Second Chance (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang