we can speak the word unspoken

66K 5.5K 49
                                    

Begitu bangun di penthouse Satya pagi ini, aku memutuskan untuk langsung pulang. Sungguh, saat ini aku sama sekali tidak memedulikan penampilanku yang sudah pasti kacau parah—sehingga membuat orang-orang melirik ke arahku dua kali saat aku melewati lobby restoran dan berjalan ke bahu jalan untuk menunggu taksi.

Pokoknya aku harus menjauh dari Satya sebelum pria itu pulang dari supermarket—seperti yang pria itu tulis di note—untuk menyelamatkan mukaku sendiri.

Holyshit, Kanthi!

Kenapa sih tadi malam lo nggak tutup mulut dan langsung tidur saja!

I miss you too—gundulmu, Kanthi!

“Arghhhhhh! I hate myself!” teriakku seraya menenggelamkan wajah ke lutut.

“Mbak, nggak papa?” tanya sopir taksi yang sontak membuatku meringis tidak enak. Semoga Pak Sopir tidak menurunkanku di tengah jalan karena ia mengira aku orang gila.

Dan ternyata taksi yang aku tumpangi betulan tengah berhenti saat ini, membuatku langsung menjelaskan kondisiku dengan panik. “Pak saya bukan orang gila—“

“Oh, saya nggak ngira Mbak orang gila, kok. Ini sudah sampai di Selamat Pagi,” jelas sopir taksi dengan senyum menenangkan.

Sontak aku langsung menengok ke arah jendela dan pemandangan Selamat Pagi yang cukup ramai karena didatangi para budak korporat yang ingin berangkat kerja langsung masuk ke indra penglihatanku.

Aku meringis tak enak. “Terima kasih, Pak.” Setelah membayar taksi aku pun segera turun dan ingatan memalukan tentang kejadian tadi malam kembali menguasai kepala hingga membuat aku nge-blank.
Dengan berjalan gontai aku masuk ke Selamat Pagi dan aroma cake yang manis langsung menusuk hidung hingga membuat perutku keroncongan, tapi kepalaku terlalu sibuk memikirkan kejadian semalam, hingga aku memutuskan untuk duduk di bangku kosong yang tersedia bukannya masuk ke dalam rumah untuk sarapan.

I miss you too—“ and this feeling ... fucking intolerable. “—but I prefer suffer in silence; because I don’t want you anymore.”

Dan sungguh, aku masih ingat bagaimana tatapan Satya semalam saat aku mengatakan itu. Dan bagaimana pria itu mengelus rambutku sebelum membenarkan selimut kemudian mematikan lampu dan keluar kamar. Aku masih ingat semuanya dengan jelas. Hingga kini aku ingin memecahkan kepalaku sendiri untuk mengenyahkan semua yang terjadi semalam.

Okay, aku tahu jika aku juga bilang ‘I prefer suffer in silence’ tapi tetap saja aku juga bilang ‘I miss you too’. Sial, aku benci seringaian Satya tadi malam dan bagaimana Satya menjawab ‘I know’.

“Hahahaha Sial! Sial! Sial!” gerutuku seraya menggetokkan keningku sendiri ke meja berkali-kali.

Hingga akhirnya aku berhenti karena bukannya dinginnya meja yang menyentuh dahiku, tapi hangatnya sebuah telapak tangan. Sontak aku pun langsung menegakkan tubuh dan aku sontak memutar bola mata malas begitu melihat siapa yang tengah duduk di depanku saat ini.

You look like shit,” ujar pria itu seraya tersenyum menyebalkan.

Aku mengikat rambutku dengan gaya messy bun lalu menatap Sergio sinis. “Kalo lo ada masalah saat lihat penampilan gue. Just close your eyes.”

“Aduh makasih lho, Sergi, kiriman bunganya. Aturan nggak usah repot-repot—ya gusti Kanthi! Kamu abis kena puting beliung di mana? Anak gadis kalo ketemu cowok itu harusnya dandan yang cakep, iku malah esih belekan kiwe-tengen!” omel Mama seraya membawa vas berisi bunga lavender yang aku tebak adalah pemberian Sergio.

Aku meraih tisu yang ada di meja, lalu membersihkan mata kanan kemudian mata kiri. “Ya, biarin aja masih belekan. Lagian buat apa juga aku harus tampil cakep di depan Sergio? Dia bukan Mas Crush yang pengin aku ambil hatinya, kok. Dadi ora urus si Sergi mikir apa!” jawabku mengangkat kedua bahu tak peduli yang hanya direspons Mama dengan decakan keras dan jeweran di kuping yang membuat aku menjerit kesakitan.

“Ma, sakit!”

“Maaf ya, Nak Sergi, jadi liat pemandangan nggak enak pagi-pagi. Kanthi emang nggak berubah, kan? Masih kayak anak kecil.”

“Ish, emangnya aku harus berubah jadi apa sih, Ma? Sailor Moon?” gerutuku seraya mengelus kuping kiriku yang baru saja dijewer Mama.

“Ya, terserah kamu kalo mau berubah jadi timun. Udah sana cuci muka, terus temenin Sergi sarapan. Dia udah nungguin kamu dari semalem, tapi malah kamunya nggak balik-balik. Mama ke dapur dulu.” Setelah itu Mama kembali masuk ke dalam rumah dan aku hanya melongo masih mencerna perkataan Mama.

“Ma, Sailor Moon bukan timun. Ngapain juga sih aku jadi timun!” protesku yang sontak membuat tawa Sergio makin kencang.

Aku menatap Sergio galak. “Dan lo mending pergi sana kalo cuma mau bikin mood gue jelek!”

“Nggak mau, soalnya lo bikin mood gue bagus.”

“Hih!”

Sergio melipat kedua tangannya di meja, menyondongkan kepalanya, lalu tersenyum manis. Netra pria itu menatap netraku intens. Ah, tatapan itu lagi.

“Gue adain party malam Minggu nanti. Dan sebagai tetangga yang baik lo harus dateng.”

“Idih kepedean! Siapa juga yang mau jadi tetangga yang baik buat lo?”

Dan lagi-lagi Sergio tertawa. “Oke, kalo gitu jadi tetangga jahat juga nggak papa.”

“Gue sibuk.”

“Gue udah konfirmasi ke Arum kalo malam Minggu lo free, Kanthi.”

Haish, dasar si budak cinta satu itu!

Aku menatap Sergio gregetan. “Lagian buat apa juga gue dateng? We’re not friends at all.”

Sergio menatapku dengan tatapan itu (lagi). “You’re right. That’s why we can speak the word unspoken. Mungkin itu bisa jadi alasan lo buat datang.”
Dan sungguh, aku sama sekali tidak tahu apa maksud perkataan pria itu, sehingga aku memutuskan untuk tidak merespons sama sekali.

Sergio melirik jam besi yang melingkar di tangan kirinya lalu mengeluarkan sebuah amplop dari saku kemejanya. “Dan mungkin ini bisa jadi alasan lain buat lo dateng.”

Setelah itu ia meninggalkan Selamat Pagi seraya membawa sekotak kue yang tadi dibungkus Mama. Begitu Sergio melewati pintu cafe, aku pun segera membuka amplop tersebut dan langsung melotot begitu membaca apa isinya.

Damn, jadi sekarang aku mau ditinggal kawin?

Ps : Sampai jumpa lagi 3 hari lagi!
Yang mau baca duluan bisa mampir ke Karyakarsa-nya Sa, ya!

Sa,
Xoxo.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now