sampai jumpa lagi hari selasa

69K 5.7K 53
                                    

10 Tahun Lalu,

Aku mengembuskan napas lega karena akhirnya aku selesai menjawab semua soal ulangan sejarah tanpa kendala. Lalu aku pun segera bangkit dari kursiku untuk mengumpulkan selembar kertas yang berisi 10 soal ulangan hari ini. Setelah menyerahkan kertas tersebut kepada guru, aku pun segera kembali ke tempat dudukku dan bersiap pulang.

Kebetulan pelajaran sejarah memang ada di jam terakhir, sehingga siapa pun yang sudah selesai ulangan boleh pulang. Arum menendang bangkuku dari belakang, sehingga membuatku segera melongokan kepala ke belakang seraya sesekali lirik-lirik ke meja guru.

"Apa?" tanyaku berbisik.

"Jangan pulang duluan. Awas aja lo!" ujarnya seraya berbisik.

Aku memutar bola mata malas, lalu menyatukan jari jempol dan telujuk di belakang punggung bermaksud mengucapkan 'oke' tanpa suara. Setelah itu aku segera keluar kelas dengan langkah hati-hati agar tidak mengganggu konsentrasi murid lain yang belum selesai ulangan. Sejarah merupakan salah satu pelajaran favoritku, makanya aku tidak begitu kesulitan saat menjawab soal-soal ulangan hari ini.

Sembari menunggu Arum aku pun memutuskan untuk ke kantin untuk membeli minuman karena tenggorokanku terasa kering. Setelah mengirimi Arum pesan jika aku akan menunggu gadis itu di kantin, aku pun segera duduk di bangku pojok agar bisa leluasa melihat ke lapangan dan melihat anak-anak ekstrakulikuler tenis yang tengah berlatih.

Aku sesekali melempar senyum pada anak-anak yang aku kenal di lapangan, lalu kembali menyedot susu coklat yang tadi aku beli seraya melihat gerakan bola tenis yang berpindah lapangan dengan lincah, sebelum akhirnya menyangkut di net dan membuat para penonton bersorak.

"What the ... Sejak kapan Dokuritsu Junbi Cosakai itu nama lain BPUPKI? Bukannya Budi Utomoooooo?" heboh Arum seraya menunduk-membaca buku paket sejarah.

Jessica menarik lengan Arum yang hendak menabrak bangku kantin, lalu menuntun gadis itu duduk di depanku. "Sejak dibentuk pada tanggal 29 April 1945," jawabku kalem seraya memakan kentang goreng yang tadi aku pesan.

"Buset inget aja lagi dia!"

"Kayak nggak tahu aja deh lo, Rum, si Kanthi kan memang maniak sejarah."

"Tapi, Thi, lo pasti salah pas jawab kepanjangan VOC, kan? Please, bilang ke gue kalo lo jawab itu ngasal, karena ya kali deh lo beneran apal 'Vereenigde Oostinidische Compagnie' tanpa typo!"

"Pak Hakim nggak bakalan nyalahin jawaban kita kalo cuma typo satu atau dua huruf, Rum. Tenang aja."

"Betul, gue kali ini setuju sama Kanthi," sahut Jessica setelah menelan kentang goreng yang ada di mulutnya.

"Buset deh dasar kalian berdua nggak setia, udah fix sih ini gue doang yang entar remed!" rajuk Arum dengan cemberut, Arum memang tidak begitu suka sejarah, tapi dia yang paling jago matematika di kelas. Kalo ada anak yang nilai matematikanya paling tinggi dari seluruh anak IPS, sudah pasti Arumlah orangnya.

"Eits, jangan lupa prinsip ulangan, Rum ... baca soal, kerjakan, lupakan."

"Baiklah, lupakan! Lupakan! Eh, Thi, lo jadi ikut ekskul anggar, kan?"

"Lo tahu gue nggak gitu suka olahraga-"

"Heleh, basi! Terus lo mau ikut ekskul padus lagi gitu? Idih ngapain amat, udah anggotanya cewek semua-nggak bisa cuci mata, latihannya 4x seminggu, dan kalo upacara ditaruh di tempat panas pula! Gue jadi lo udah keluar dari minggu pertama gabung kali!"

Dan karena aku malas mendengar Arum ceramah lagi, akhirnya aku mengiyakan saja ucapan gadis itu. "Iya elah! Gue bakal ikut ekskul fencing! Puas lo?"

Arum tersenyum lebar. "Tentu aja gue puas! Dijamin fencing seru, Thi, lo nggak bakal kecewa. Oh ya, tapi abis ini gue sama si Jeje mau ketemu Miss Indira, nggak tahu deh apa yang mau diomongin. Lo nggak papa kan ke GOR sendiri? Nanti di sana pasti banyak anggota anggar, lo bilang aja mau gabung."

"Oke."

Setelah itu Jessica dan Arum meninggalkan kantin dan berjalan ke ruang guru untuk bertemu Miss Indira-wali kelas kami, sedangkan aku segera berjalan ke GOR yang ada di gedung C.

Sesampainya di GOR-gedung olahraga ini tampak sepi. Sehingga aku pun celingukan untuk mencari para anggota anggar yang kata Arum pasti banyak tadi.

"Hi, ada yang bisa gue bantu?"

Aku pun segera berbalik dan karena orang itu berdiri tepat di belakangku, alhasil aku pun menubruk pria itu sehingga tubuhku oleng. Untungnya ia menahan lenganku sehingga aku tidak jatuh ke lantai GOR yang dingin.

Dengan segera aku pun berdiri tegap dan membenarkan tasku yang turun dari pundak, lalu aku menatap pria itu. Dan aku langsung mundur selangkah karena jarak kami yang begitu dekat.

"Mmm ... thanks. Sorry, tadi gue kaget," ujarku canggung.

"It's okay, salah gue juga ngagetin lo. By the way, gue Satya. Ada yang bisa gue bantu?"

"Ah, gue mau daftar ekskul fencing. Tapi kayaknya nggak ada orang. Mungkin besok gue bakal balik lagi."

Satya tersenyum lebar. "Nggak perlu. Gue juga anggota fencing. Ikut gue, gue kasih form pendaftarannya."

Lalu aku mengikuti Satya masuk ke salah satu ruangan yang ada di samping GOR. Aku duduk di bangku yang tersedia, sedangkan Satya tengah sibuk membalik beberapa kertas. Lalu pria itu duduk di sampingku setelah menyerahkan form pendaftaran club fencing 2012.

Jujur saja suasana di antara kami kini sangat canggung. Tak ada yang bicara di antara kami, hanya suara tiktok jam dinding yang sesekali terdengar dan dengung samar AC. Dengan gerakan kaku aku mengambil pulpen di dalam tas dan mulai mengisi form pendaftaran dengan jantung mau meledak karena Satya melihat biodata yang aku isi dengan serius.

Wajah kami kini sejajar-berjejeran, dan aku dapat menghidu aroma cologne dari rambut hitam legam Satya. Ah, sial! Ini tidak bagus untuk jantungku dan semoga Satya tidak memperhatikan jari-jariku yang gemetar saat menulis.

Aku bernapas lega saat akhirnya aku selesai mengisi form tersebut, tapi karena terlalu bersemangat bergerak, tempat pensil yang ada di sampingku malah jatuh dan isinya jadi berhamburan. Dengan buru-buru aku pun segera menunduk untuk memungut pulpen yang tersebar, jantungku semakin berdetak kencang karena saat ini Satya juga ikut menunduk untuk membantu memunguti barang-barangku yang terjatuh.

Aku mengangkat kepalaku setelah memungut pulpen terakhir yang ada di lantai, dan jantungku semakin mau meledak saat kini wajahku dan wajah Satya sejajar. Wajah kami hanya berjarak sejengkal, sehingga aku dapat merasakan napas hangat Satya yang sangat kontras dengan udara bawah meja yang aromanya pengap.

Satya tersenyum lebar, lalu memberikan beberapa pulpen yang ada di tangannya. "Sisa pulpen lo."

Dengan gerakan cepat aku mengambil pulpen dari tangan pria itu dan segera berdiri-karena aku tidak mau ia melihat wajahku yang aku yakin sudah sangat merah sekarang. Sial, wajahku terasa terbakar!

"Thanks, Sat. Sorry, jadi ngerepotin."

"Iya, sama-sama dan lo nggak ngerepotin sama sekali, kok."

"Oke, kalo gitu gue balik dulu. Makasih form anggarnya." Setelah itu aku segera berbalik dan menuju pintu dengan buru-buru. Karena sungguh berlama-lama di ruangan ini bisa membuat jantungku cepat rusak.

"Hi, Kanthi...."

Dengan gerakan kelewat cepat aku segera berbalik. Dan sungguh aku sangat mengutuki tindakanku saat ini. Memalukan! "Ya?"

"Welcome to the club, sampai jumpa lagi hari Selasa," ujar Satya sambil tersenyum.

Kali ini aku juga ikut tersenyum. "Thanks, sampai jumpa lagi hari Selasa."

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now