x? na-ah she doesn't love me back

65.3K 4.9K 26
                                    

10 Tahun Lalu,

Aku menguap lebar, lalu kembali fokus menatap papan tulis di mana Miss Edwina masih menjelaskan pelajaran matematika. Matematika tidak pernah jadi mata pelajaran favoritku, apalagi pelajaran yang selalu membuat kepalaku mendidih itu adalah pelajaran terakhir hari ini.

Dan percayalah belajar aljabar di siang bolong yang terik di hari Jumat benar-benar menyebalkan. Bikin pusing tujuh keliling. Aku terus-terusan melirik jam dinding yang entah kenapa seolah berjalan seperti siput, karena lima menit rasanya seperti lima jam.

"Oke, jam pulang masih lima belas menit lagi. Tapi siapa pun yang bisa ngerjain soal nomor 12 boleh pulang duluan. Ada yang tertarik?" tanya Miss Edwina seraya membenarkan kacamatanya lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas.

Membuat para siswa yang tadinya ngantuk langsung segar dan duduk tegak. Ya, tawaran Miss Edwina memang sangat menggiurkan, tapi percayalah soal nomor 12 sama sekali tidak mudah. Kalau kamu maju dan tidak bisa mengerjakan soal tersebut, maka kamu akan jadi siswa yang pulang terakhir. Pokoknya harus ketemu jawabannya, Miss Edwina bakal menunggu tak peduli soal itu akan selesai pukul lima sore.

Kelas mendadak hening karena tidak ada yang mau mengajukan diri. Bahkan, Arum si maniak angka itu memutuskan untuk tetap duduk manis di bangkunya kali ini.

"Nggak ada? Arum? Devino? Atau mungkin Rafael Januardi?"

"Na-ah, Miss, please berhenti nanyain aku soal x, because she doesn't love me back," jawab Rafael seraya memegang dadanya dengan dramatis. Yang sontak membuat seluruh keras bersorak.

"Huuuuuuu~ malah nge-sad boy!"

"Ouch ... ada yang sakit tapi tidak berdarah."

"Aku tahu tapi aku diam."

"Haduh, peka Mbak peka!"

"Cewek mah emang gitu, Er. Nggak pekaan."

"Sabar boy!"

"Kodenya keras sekali coy!"

Dan di tengah keriuhan itu tiba-tiba Arum berdiri sehingga ia menjadi pusat perhatian. Seraya membawa buku paket Matematikanya gadis itu berjalan ke depan kelas, lalu ia mengobrol sebentar dengan Miss Edwina dan mulai mengerjakan soal yang ada di depan. Arum mengerjakan soal tersebut dengan sangat cepat, sehingga membuat kami hanya bisa melongo.

Karena jawaban Arum benar, gadis itu pun diperbolehkan pulang duluan.

"Dasar pengkhianat!" cibirku yang hanya direspons Arum dengan mengedipkan satu mata-dan aku tahu sahabatku itu tengah meledekku.

Setelah Arum keluar kelas, kami pun kembali melanjutkan pelajaran mati-matian ini. Dan sontak kami langsung mendesah berjamaah saat Miss Edwina mengadakan kuis di detik-detik terakhir.

***

Sesampainya di kantin aku langsung menyambar sebotol air mineral dari lemari pendingin dan meminumnya hingga setengah.

"Buset haus, Buk!" seru Jessica seraya geleng-geleng kepala.

Aku mengabaikan komentar Jessica dan segera menghampiri Ibu kantin untuk membayar air yang tadi aku minum sekalian memesan mie goreng karena saat ini perutku keroncongan. Aku belum makan karbohidrat sejak pagi, tadi pagi aku sarapan dengan segelas susu dan saat istirahat aku hanya makan cilor karena terlalu malas antri di kantin.

Sembari menunggu pesanan mie gorengku disiapkan, aku pun segera duduk bergabung dengan Jesika, Arum, dan juga Rafael di bangku paling pojok.

Entah bagaimana Rafael-si somplak itu bisa menyelesaikan kuis lebih dulu daripada aku, tetapi kalau pun aku bertanya juga percuma, karena Rafael pasti bakal menjawab ngitung kancing daripada membahas soal kuis yang membuat otak mendidih itu.

Dengan gregetan Arum memukul kepala Rafael dengan ujung bolpoin.

"Heh, Rafael Januardi! I've told you kalo lo harus kaliin semuanya dulu sebelum jawab soalnya. Terus x cuma bisa dijumlah sama x, dan y cuma bisa dijumlah sama y. Ini lo ngerjain soal pakai cara planet mana sih?" tanya gadis itu dengan ekspresi seolah ingin menghantam sesuatu. Dan aku yakin 100% saat ini Arum ingin menempeleng Rafael tapi gadis itu tahan mati-matian.

"Aw sakit!" teriak pria itu seraya mengelus keningnya sambil cemberut.

And yeah ... poor Rafael Januardi. Arum memang teman belajar yang menyenangkan, tapi tidak saat gadis itu bad mood atau sedang datang bulan. Dan kalau dilihat dari kondisi sekarang, sahabatku itu pasti tengah bad mood karena datang bulan. Boy ... semoga kamu selamat sampai akhir. Lalu aku dan Jessica bertatapan dengan ekspresi ngeri.

"Planet Koya-Koya. Lo tahu gue benci math-no reason."

"Hating math is overrated dan no reason sialan lo itu nggak bakalan bikin lo naik kelas. Mending sekarang lo belajar dengan benar, sebelum Miss Edwina ngaduin nilai lo ke Yang Mulia Han Januardi yang terhormat."

Rafael mengalihkan tatapannya dari buku paket matematika yang super tebal itu, lalu ia menatap Arum intens dengan kedua matanya yang setajam elang.

"Oke, ayo bikin taruhan. Kalo di ulangan math Minggu depan nilai gue delapan, lo harus nonton sama gue."

"Deal, karena itu nggak mungkin terjadi."

Rafael tertawa renyah. "Sial, lo benar itu nggak bakalan terjadi."

Namun, kamu tahu apa yang seru dari masa depan? Masa depan itu nggak ada yang tahu. Masa depan selalu punya kejutannya sendiri.

Aku mengalihkan pandanganku dari Rafael dan Arum, dan tubuhku langsung tegak begitu netraku bertatapan dengan Satya.

Satya melambaikan tangannya ke arahku, dan aku pun langsung menyapa sapaan pria itu. Lalu aku menghampiri Satya karena hari ini aku dan si ketua OSIS itu memang punya janji untuk pergi bersama.

Aku mengabaikan tatapan penasaran Arum dan Jesika, aku tahu saat ini dua sahabatku itu pasti bertanya-tanya bagaimana aku dan Satya bisa menjadi dekat. Sebab, jujur saja aku juga tidak tahu. Semua hanya terjadi begitu saja. Yang aku tahu ... aku nyaman dengan pria itu.

Dan aku selalu suka reaksi tubuhku saat bersama Satya. Senyum malu-malu, badai kupu-kupu di perut, panas di pipi hingga tulang belakang.

Sampai Jumpa 3 Hari Lagi!
Sa,
Xoxo.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now