i try to quit, but truth is i don't want to

50.6K 4.1K 161
                                    

Happy Birthday.

Itu adalah rata-rata pesan yang masuk ke media sosialku hari ini. Mulai dari sahabat terdekat, tetangga, Mas-Mas random tidak jelas yang suka DM di Instagram, bahkan Kaskus, semuanya mengirimiku pesan selamat ulang tahun.

Aku tahu itu hal wajar karena hari ini memang ialah hari lahirku, tapi tetap saja aku sama sekali tidak merasa senang. Kalau kebanyakan orang akan begitu bahagia bahkan sampai membuat pesta besar-besaran untuk merayakan ulang tahunnya, aku malah tidak suka dengan hari kelahiranku sendiri.

Karena untuk apa merayakan hari kematian mamaku sendiri? 

Ya, hanya demi mengantarku lahir ke dunia, mama sampai harus mengorbankan nyawanya sendiri. Makanya, aku paham kenapa ayah begitu membenciku di seumur hidupnya. Aku pantas dibenci karena aku sudah merenggut nyawa istri tercintanya. 

Ada saat-saat di mana aku membenci fakta karena aku sudah lahir ke dunia, kadang aku mengamini pula perkataan ayah yang katanya; sebaiknya sejak awal aku yang mati saja. Kadang, saat Ayah memukuliku hingga sakitnya bisa aku rasakan hingga sekarang, aku merasa kalau aku memang pantas menerima itu semua. 

Aku memang pembawa sial.

Sebaiknya aku mati saja.

Seharusnya aku tidak pernah lahir ke dunia. 

Aku masih ingat bagaimana sabetan ikat pinggang ayah di punggungku, dinginnya air hujan karena tidak boleh masuk ke rumah semalaman, atau gelap dan pengapnya lemari tempat aku bersembunyi saat ayah mulai mabuk dan hilang kendali.

Sakit,

sakit sekali,

Rasanya benar-benar sakit sekali....

Tidak ada yang istimewa di hari ulang tahunku, makanya aku benar-benar tidak akan merayakan apa pun. Membeli atau membuat kue apa pun, atau membalas pesan siapa pun. Biasanya aku akan menjawab pesan-pesan yang masuk tiga hari kemudian dengan alasan sibuk, lalu mengirimi mereka masing-masing satu box kue sebagai traktiran dan semua beres dalam sehari. Tinggal mengulangnya lagi tahun depan. Masalah selesai.

Setelah mandi dan pamit pada Mama, aku pun segera pergi ke tempat di mana aku biasa menghabiskan hari ulang tahunku. Namun, sebelum ke sana aku mampir dulu ke rumah sakit jiwa untuk membawakan kue dan makanan kesukaan ayah.

Aku tidak tahu ini takdir atau tragedi, karena hari ulang tahunku juga sama dengan tanggal ulang tahun ayah. Dan aku juga tahu ayah membenci hari ulang tahunnya sebesar aku membenci hari ulang tahunku sendiri. 

Karena di hari lahirnya, ia kehilangan mama—orang yang sangat ia cintai. 

Aku juga bisa paham kalau kunjunganku kali ini tidak akan berbeda dengan kunjunganku di kunjungan sebelum-sebelumnya. Ayah masih akan melihatku dengan tatapan penuh kebencian, ia sekarang memang sudah tidak bisa memaki atau memukuliku lagi, tapi aku tahu kebencian yang sangat besar itu masih di sana. 

Aku duduk berhadapan dengan Ayah cukup lama, tanpa kata, tanpa tanya. Kami hanya saling diam dengan tatapan penuh benci di mata masing-masing. Karena aku juga benci Ayah sebesar ia membenciku. 

Aku juga tidak mau lahir ke dunia, kalau bisa waktu itu aku saja yang menggantikan mama untuk mati. Tetapi takdir selalu punya rahasianya sendiri, kan? Makanya, saat ini aku berusaha untuk berdamai dengan semuanya. Aku sudah lelah membenci diriku sendiri, dan kenyataannya … itu juga tidak membuat aku lebih baik.

Aku tidak tahu apa alasan aku lahir ke dunia, aku yakin kebanyakan dari kalian juga tidak tahu. So, let’s  just wait and see.

***

Sebelum aku pergi ke tempat yang ingin aku kunjungi selanjutnya, aku memutuskan untuk membeli sebuket baby breath di toko bunga bernama Istana Bunga. Setiap tahun, di tanggal yang sama, aku selalu datang ke sini. Jadi, tidak heran kalau sang owner yang tidak aku tahu namanya, tapi punya tatapan hangat dan senyuman sangat cantik itu sudah menyiapkan sebuket bunga baby breath yang sangat cantik.

“Hi, bentar aku ambilin baby breath kesukaan kamu,” ujar wanita cantik itu bahkan sebelum aku mengucapkan satu kata pun.

Lalu ia berjalan ke sisi kiri toko di mana sudah berjejer banyak sekali berbagai buket bunga yang sangat cantik karena kentara sekali sudah ditata secara profesional dan penuh perasaan. Setelah mengambil sebuah buket dengan pita berwarna kuning, ia segera kembali menghampiriku.

“Semoga kamu suka sama buket buatanku kali ini.”

Aku pun menerima buket yang diberikan oleh gadis pemilik Istana Bunga dengan senyuman lebar. “Thanks, Mbak. Aku selalu suka buket bunga buatan kamu. Terima kasih karena selalu buatin aku buket bunga yang cantik setiap tahunnya.”

“You’re welcome. Have a nice day.”

Setelah membayar bunga aku pun segera meninggalkan toko bunga tersebut dan pergi menuju sebuah pemakaman yang ada di daerah Jakarta Barat. 

Setiap tahunnya aku akan merayakan ulang tahunku di pemakaman Mama. Aku akan berdoa untuk wanita yang sudah merelakan nyawanya untukku, lalu aku akan bercerita tentang hari-hariku tanpa ada yang terlewat. Aku tahu ini aneh, tapi aku betulan merasa Mama akan mendengar semuanya dan itu sudah cukup jadi pelipur lara.

Aku memang tidak mengenal Mama sama sekali, aku hanya tahu rupa dan senyum mama dari foto-foto yang terpajang di rumah. Aku tahu Mama suka baby breath karena di kebanyakan foto yang diambil Mama, bahkan di foto pernikahannya dengan Ayah, wanita yang sudah melahirkan aku itu selalu memegang bunga baby breath dengan senyuman lebar yang bertengger di wajah ayunya.

Namun, walau aku tidak mengenal Mama seumur hidupku, aku tahu kalau Mama pastilah sangat mencintaiku. Karena ia rela mengorbankan nyawanya untukku, cinta yang seperti itu tidak perlu dipertanyakan lagi bukan?

Tanpa sadar air mataku mengalir saat aku menceritakan apa yang terjadi pada hidupku akhir-akhir ini. Tentang pertemuan dengan Ayah, tentang Satya dan Sergio, dan tentang beribu tanya yang mondar-mandir di kepala.

Rasanya sesak sekali, benar-benar sakit sekali.

Hingga akhirnya aku berjongkok sambil menangis tanpa suara, dan gerimis mulai turun mencumbu bumi. Sehingga aroma petrikor memenuhi indra penciumanku.

Namun, ada yang berbeda dengan aroma petrikor kali ini, karena bercampur dengan aroma familier yang sangat aku kenal. Dan saat aku mendongakkan wajah aku dapat melihat Satya yang tengah berdiri di depanku seraya menjulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang sebuah payung berwarna hijau botol.

Aku menghapus air mataku yang sialnya tidak berhenti mengalir. “Gue lebih percaya lo genderuwo atau buto ijo daripada bilang kalo yada yada ... lo tiba-tiba muncul di kuburan karena kebetulan.”

“Ini emang bukan kebetulan. Aku tahu kamu suka sendirian di hari ulang tahun kamu, tapi aku yang nggak suka kamu sendirian. So, biarin aku nemenin kamu.”

Second Chance (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang