in another life, let's get matching tattoos

54.1K 4.6K 99
                                    

Setiap hari Minggu di minggu ke empat, Pak RT mengadakan bazar dan jalan santai. Acara ini sudah berlangsung sejak aku dan Mama pindah ke lingkungan ini, dan sejak itu pula kami berdua selalu mengikuti bazar—sehingga sudah membuat tenda sejak pagi dan menata rapi kotak-kotak kecil kue yang akan dijual.

“Kue sus kayak biasa Oma?” tanyaku pada Oma Kencana yang sudah menjadi langganan kami sejak awal kami buka. 

“Iya, aku njaluk gangsal, yo.”

Aku mengganguk seraya tersenyum. “Nggih, Oma. Sebentar ya Kanthi siapin dulu.”

Setelah itu aku segera berjalan ke sisi kiri untuk menghampiri etalase yang berisi kue sus dan segera memasukan lima kue pesanan Oma Kencana ke dalam paper bag yang tadi sudah aku siapkan. Lalu setelah itu aku pun segera memberikan paper bag tersebut kepada wanita yang meski sudah berusia 65 tahun tapi tetap terlihat bugar itu. 

“Matur suwun, Oma. Bulan depan jangan lupa borong lagi, ya!” 

“Wis pasti! Kalo gitu Oma pamit, ya. Mau senam sama lansia yang lain,” ujar Oma yang sontak aku respons dengan anggukan kepala dan senyuman sopan.

Setelah itu aku kembali melayani beberapa pelanggan yang cukup ramai hari ini. Sehingga kue yang ada di sisi kiri sudah habis semua. 

“Mbak Kanthi! Kue tiramisunya masih ada, kan?” tanya Agustin seraya ngos-ngosan. Terlihat gadis remaja itu baru saja jogging karena keringat membasahi kening dan leher gadis itu.

“Habis dong, tapi lo mah gue sisain Titin sayang,” ujarku yang sontak membuat gadis itu kembali semangat saat tadi hampir manyun. 

Agustin hendak berlari ke arahku—untuk memelukku—tapi aku tahan dengan kedua tangan. “No, no, no! Gue belum ikut jalan santai, nggak sudi udah bau keringet duluan!”

“Ah, Mbak Kanthi nggak seru! Tapi thanks Mbak karena udah disisain tiramisunya. By the way, nanti malem ke pasar malem, yuk? Mau beli bakso cumi gue,” ajak gadis itu. 

“Nggak pergi sama pacar?” 

“Putus,” jawab gadis itu kali ini dengan cemberut beneran. “Entar malem gue ceritain, jam 5 gue jemput!” 

“Oke!” sahutku sedikit berteriak karena gadis itu sudah ngacir pergi sebab adiknya sudah mengaklosinya sejak tadi hingga membuat Agustin mengumpat sesekali. 

Ck, dua kembar ini dari dulu memang tidak berubah! Berantem melulu kerjaannya. Tapi sebagai anak tunggal, kadang aku iri juga dengan orang-orang yang punya saudara. Terkadang membuat aku berandai-andai juga, kalau aku punya saudara ... apa aku bakal akur dengannya? Atau lebih sering bertengkar?

Ah, andai saja Mama masih ada.

Ya, andai saja....

Tiba-tiba perasaan sesak menyerang dadaku. Kenangan yang tidak ingin aku ingat mondar-mandir di kening hingga kepalaku pening. 

Jangan, sakit!

Aku mohon berhenti, sakit!

Tapi ikat pinggang itu terus saja menyabet punggung hingga sakitnya bocah itu rasakan sampai tulang. 

Aku bernapas susah payah. Saat ini aku seperti hilang arah, aku tak dapat merasakan apa pun selain sesak, dan berbagai makian yang menggema di telinga. 

Lalu dengan sekuat tenaga aku menekan kuku jempolku ke jari telunjuk, hingga rasa perih yang ada di jari yang dipit oleh jari jempol dan tengah itu membuat aku lebih baik. 

Napasku mulai normal, telingaku mulai mendengar dengan benar, dan kenangan buruk itu mulai kabur dari kepala. Rasa sakit itu membuat aku lebih baik, rasa sakit itu membuat aku kembali waras. Hingga aku menekan jari jempolku semakin kuat. Tidak ini belum cukup. Ini belum.... 

“Hai, tetangga!” suara menyebalkan yang begitu familiar tiba-tiba menusuk gendang telingaku. Membuatku dengan segera menyembunyikan tangan kiriku ke belakang punggung. 

Are you okay?” tanya Sergio seraya mendekat, dan aku pun refleks mundur selangkah. 

Aku menatap mata Sergio berani. “I am fine. Cuma karena gue mau jadi tetangga yang buruk, gue sengaja nggak nggak bales sapaan lo aja,” ujarku songong.

Percayalah, saat lo berulang kali melewati situasi yang sama bertahun-tahun, lo akan terbiasa untuk berpura-pura. 

Sergio menyentil dahiku. “Dasar!” kekehnya.

“Ih, apaan sih, nyebelin!” ujarku seraya cemberut karena aku tidak akan pernah bisa membalas perbuatan Sergio barusan karena perbedaan tinggi badan kami yang lumayan.

Sebenarnya tubuhku tidak pendek-pendek amat, karena aku punya tinggi badan 165 cm, tapi memang Sergio yang tingginya kebangetan. Hingga waktu sekolah ia sering dipanggil si manusia ‘genter’. 

Lalu aku dan Sergio pun berjalan santai bersama mengelilingi kompleks bersama dengan warga lainnya. Kadang aku juga berlari-lari kecil, tapi kali ini aku tidak memaksakan diri sama sekali. Aku akan berhenti saat tubuhku sudah mulai lelah. 

“Minggu depan ada acara jalan santai gini lagi?” tanya Sergio yang berjalan di sisi kananku. Tadinya aku yang ada di sisi kanan, tapi entah kenapa tiba-tiba ia lari pindah posisi. 

“Nggak, ini cuma sebulan sekali di Minggu terakhir akhir bulan,” jelasku yang langsung direspons dengan anggukkan mengerti oleh Sergio.

“By the way, gue nggak suka kita jalan diem-dieman karena gue berasa jalan sama batu. Okay, Kanthi, random questions. Apa hal ‘melanggar aturan’ yang paling pengen lo lakuin?”

Seriously, Sergi? Ini sih beneran random banget!” 

“Seperti judulnya Buk, random questions. Jadi, apa?”

Sergio berhenti di depanku sehingga aku juga terpaksa berhenti sebelum menabrak dada pria itu. “Gue tahu lo anak baik-baik, tapi masa iya sih nggak ada satu pun?” tanya pria itu seraya menunduk sehingga jarak wajah kami terkikis. Dan lagi-lagi aku mundur selangkah.

“Dan lo juga nggak berubah dari dulu. Masih aja jadi manusia kepoan! Lagian gue nggak ada kewajiban buat jawab pertanyaan lo. Minggir! Gue mau lanjut olahraga,” ujarku seraya sengaja menubruk bahu Sergio lumayan keras. But, shit ... ini malah bahu gue yang nyeri. Sial, bahu pria itu dibuat dari apa, sih? Batang kelapa?!

“Ayolah, masa nggak ada sih?” ujar pria itu seraya kembali berdiri di depanku. Lalu pria itu berjalan mundur seraya menggodaku dan merongrongku dengan jawaban, sehingga beberapa orang menatap kami penasaran. 

“Oke, Sergio Bastian! Bisa nggak lo berhenti bertindak kekanakan? Orang-orang liatin kita tahu!”

“Makanya cepet jawab pertanyaan gue.”

“Oke, fine! Lo menang! Hal melanggar peraturan yang paling banget gue lakuin adalah ... punya tato.”

Sergio menatapku dengan glabela berkerut. “Just do it. Kan, kalo lo punya tato nggak bakalan nyakitin siapa pun juga.”

“Terus diusir jadi anak sama Mama? Gue udah banyak ngerepotin Mama, jadi yes ... Gue memang pengen jadi anak baik-baik.”

Ah I see. Kanthi....”

“Hmm?”

“In another life, let’s get matching tattoos.”

“Na-ah, kalo di another life gue ketemunya lo lagi, gue yakin hidup gue dikutuk!”

Dan ucapanku sontak membuat Sergio tertawa keras. “By the way, jalan gini sama lo bikin gue de javu. Waktu Jumat Sehat sepuluh tahun lalu. Lo inget, kan?”

“Ah, lo dari dulu emang suka jadi pusat perhatian, kan?”

“Cuma kalo lagi sama lo.”

“Hah?”

“Gue suka jadi pusat perhatian, kalo cuma lagi sama lo.”

Aku tertawa sumbang. “Why? Karena tandanya lo bisa buktiin kalo lo lebih segalanya dari saudara lo?” tanyaku seraya menatap netra pria itu. Dan seperti Satya, Sergio pun tidak mampu menjawab pertanyaanku yang ini. 

Second Chance (Completed)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora