i'll break your heart so you don't break mine

62.5K 4.7K 23
                                    

Aku tersenyum puas seraya memandangi lemon cake yang baru saja selesai aku hias. Menyenangkan rasanya karena bisa kembali melakukan hal yang aku suka setelah sebulan ini aku sibuk karena jadwal Alea yang sangat padat. 

Setelah memotong-motong kue menjadi delapan bagian, aku pun segera membawa kue tersebut ke depan untuk dipajang di etalase Selamat Pagi. Ah ya, Selamat Pagi adalah toko kue milik mama yang sedikit aku rombak hingga kini menjadi cafe kecil-kecilan. Namun, karena halaman rumah kami memang tidak terlalu luas, cafeku ini memang sangat minimalis sekali. Makanya kebanyakan orang yang mampir ke sini lebih memilih untuk takeaway. Atau memang sudah pesan jauh-jauh hari. 

Dan kalau kalian tanya kenapa nama toko kue kami adalah Selamat Pagi, itu karena Mama malas mikir nama untuk toko kue ini, lalu karena kami memang selalu buka dari pagi karena pelanggan Mama rata-rata adalah ibu-ibu yang harus mengantar anaknya sekolah pagi-pagi dan membeli kue untuk bekal, jadilah toko kue ini akrab disapa Selamat Pagi.

“Thi, kamu jadi ke rumah Sergio sore ini?” tanya Mama setelah mengembalikan uang kembalian pelanggan. 

“Jadi, Ma. Makanya aku balik ke dapur lagi, ya. Lagi bikin kue buat dibawa ke sana, takut nggak keburu.” Setelah mengatakan itu aku pun kembali ke dapur untuk menghias banana cake yang tadi sudah aku persiapkan.

Pertama-tama aku menghias kue dengan krim susu yang sudah aku buat sejak pagi. Setelah itu aku menghias atas krim dengan pisang yang sudah aku potong bulat-bulat teratur, aku menatanya vertikal dan juga horizontal hingga seluruh permukaan kue penuh oleh pisang. Setelah itu aku menaburi atas pisang dengan keju dan juga cokelat. Terakhir degan madu. Dan aku langsung tersenyum puas begitu melihat karyaku itu. Ah, melakukan hal yang kita cintai memang selalu menyenangkan, kan?

Setelah menaruh cake ke dalam kardus kue, aku pun segera mandi karena satu jam lagi pesta yang diadakan Sergio akan segera mulai. 

***

Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Sergio dengan berjalan kaki. Toh, jarak blok A dan blok E tidak terlalu jauh—apalagi aku bisa lewat jalan tikus. Sore ini kompleks rumahku begitu sepi, tapi maklum saja karena kebanyakan orang yang tinggal di sini memang para workaholic sejati. Mereka semua akan berangkat pagi-pagi sekali dan pulang hampir tengah malam. Biasanya jalanan kompleks akan ramai kalau weekend karena banyak orang yang keluar untuk berolahraga. 

Sesampainya di rumah Sergio aku langsung memencet bel dan tak lama kemudian pintu di depanku segera terbuka dan senyuman lebar Sergio langsung menyapaku. 

“Hai, welcome. Sini masuk!” 

Aku pun segera masuk ke dalam rumah pria itu dan aku langsung mengerutkan glabela begitu aku tak menemukan siapa pun di sini. Mana peserta pesta lainnya? Jangan bilang si somplak itu cuma mengerjaiku?

Aku pun segera berbalik dan menatap Sergio galak. “Lo adain pesta tapi kenapa cuma gue doang yang dateng? Ini lo nggak lagi ngerjain gue, kan?” tanyaku dengan nada curiga yang tidak berusaha aku sembunyikan sama sekali. 

“Pestanya nanti abis maghrib—“

“Terus kenapa lo nyuruh gue dateng jam 5, sih? Lo pikir gue manusia gabut?” omelku lagi dengan cemberut. 

“Sambil nunggu yang lain dateng, kita bisa nonton Netflix dulu, atau main PS. Atau lo lebih suka we speak about the word unspoken?” godanya.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now