senyumnya masih sama

75K 5.7K 25
                                    

Sekali lagi aku melirik arloji yang melingkar di lengan kiri, jam pulang sekolah sudah lewat sepuluh menit lalu, tapi Alea belum mununjukkan batang hidungnya. Padahal gadis itu ada pemotretan satu jam lagi.

Denada Kirana yang merupakan manager sekaligus tante kandung Alea juga sudah mengingatkan aku untuk tidak datang terlambat ke pemotretan hari ini. Membuatku saat ini berdiam di mobil dengan harap-harap cemas. Ponsel Alea masih tidak aktif, menunjukkan jika gadis itu belum menyalakan data internetnya. Berarti, gadis itu belum membuka ponselnya sejak jam istirahat tadi.

Ini Alea nggak ketiduran di kelas atau dikunciin haters-nya di kamar mandi, kan?

Dengan khawatir aku mulai menyapu semua murid yang baru saja keluar melewati gerbang sekolah dengan mataku, dan aku langsung mengembuskan napas lega begitu melihat Alea keluar gerbang sekolah dengan wajah cemberut.

"Kenapa lama? Sekolah harusnya bubar sepuluh menit lalu, kan? Mana HP kamu mati pula, gue khawatir!"

"Tadi gue abis ulangan Kimia. Soalnya susah banget gila! Gue keluar terakhir," jawab Alea seraya memijit keningnya yang berkerut.

Aku terkikik seraya melajukan mobil. "Oh, ternyata ulangan. Gue pikir lo dikunciin haters lo di toilet."

"Khayalan lo kejauhan, Mbak! Cocok udah gantiin Mas Deva jadi penulis naskah FTV. Nggak sekalian lo mikir gue diculik alien?" dengkus Alea yang sontak membuatku terbahak keras.

"Percayalah tadi gue hampir mikir begitu!"

"Bodo amat!"

"By the way, gue kepo about something. Serius deh, Le, gimana rasanya jadi artis yang masuk sekolah umum?"

Alea mengedikan bahu. "Biasa aja, sih."

"Tapi teman-teman lo baik, kan?"

"Mereka semua baik, kok. Tapi ya kita kan emang nggak bisa menyenangkan semua orang, nggak sudi juga gue. So, gue tahu kalo sebagian dari mereka bikin grup khusus buat julidin gue. Tapi who care ... selama nggak ngeganggu belajar gue, gue bakal bodo amat, sih."

"Good. Pandangan orang lain terhadap kita nggak bakalan pernah bisa kita kendalikan, dan memikirkan hal-hal yang nggak bisa kita kendalikan itu cuma buang-buang waktu. So, bodo amat emang pilihan terbaik. Tapi kalo mereka mulai annoying jangan lupa lapor guru atau gue, oke?"

"Oke, love you Mbak Kanthi, Sayang!" seru Alea seraya mengecup pipiku cepet saat kami berhenti di lampu merah.

"Idih jijay! Jangan ngawur kamu, Le! Entar ada yang motret terus kita disangka pasangan lesbi lagi!"

"Halah, kan udah biasa! Tinggal tawain aja sambil makan pizza kayak biasa!"

Aku mengajak Alea ber-high five ria. "Deal!" Lalu kami tertawa bersama.

Aku tersenyum lembut seraya melirik Alea yang tengah memainkan ponsel, aku tahu menjadi seseorang yang populer tak pernah mudah. Karena akan banyak orang yang iri dan dengki, walau kamu tidak mengenal mereka sama sekali. Makanya, aku begitu salut pada remaja tujuh belas tahun di sampingku ini. Sebab butuh mental yang kuat untuk menghadapi orang tidak kamu kenal sama sekali, tapi membenci kamu setengah mati.

Setiap pekerjaan memanglah punya risikonya masing-masing. Semua hal yang ada di dunia ini selalu ada plus dan minusnya. Menjadi artis enak? Tentu. Namun, ada pula sisi gelapnya. Karena, kamu boleh punya banyak fans yang mengaku mencintai kamu setengah mati, tapi mereka yang mengaku mencintaimu juga ialah orang yang sama yang tidak memberimu privasi, menguntitmu hingga kamu ketakutan setengah mati, dan memajang foto telanjangmu di dinding kamarnya sendiri.

Atau ada sutradara yang memuji bakatmu habis-habisan, tapi malah memberi obat tidur agar kamu bisa tidur dengannya. Selama tiga tahun aku bekerja dengan Alea, aku banyak melihat banyak melihat hitam putih dunia hiburan. Hingga pandanganku tentang dunia yang satu ini tak lagi sama.

Dan hal ini membuat aku sadar, kalau segala hal di dunia ini selalu punya dua sisi. Makanya, aku harus selalu membuka mata lebar-lebar agar tidak mudah menghakimi.

Sesampainya di gedung pemotretan yang ada di pusat Jakarta ini, Alea pun langsung turun dari mobil dan aku pun mengekor di belakangnya.

Aku membuka pintu belakang dan mengeluarkan tiga paper bag yang ada di sana. Dan Alea langsung merampas ketiga tas yang terbuat dari kertas itu.

"Tante Dee barusan bilang kalo lo bisa langsung pergi ke acara pembukaan restoran temennya. Dia juga ngingetin jangan lupa lo kasih hadiah yang udah dia siapin. By the way, thanks udah jemput gue hari ini. Gue naik dulu, ya! Bye!"

Setelah itu Alea segera masuk lift dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Lalu aku kembali masuk mobil dan kembali mengemudi membelah jalanan ibu kota. Ah ya, hari ini Denada memang memintaku menggantikannya datang ke opening restaurant salah satu koleganya, ia juga mengingatkanku untuk tidak lupa membawa sebuket bunga mawar dan wine mahal yang sudah ia persiapkan.

Dan karena ini seperti candle light dinner gratis, jadi aku sih iya-iya saja. Lumayan bisa makan di restoran bintang lima tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Kesempatan seperti ini tidak selalu datang setahun sekali, makanya aku sama sekali tidak keberatan menggantikan Denada di acara hari ini.

Aku mengambil sebuket bunga mawar dan wine yang ada di kursi belakang, lalu masuk ke dalam restoran baru itu dengan senyum super lebar. Namun, langkahku sontak berhenti begitu melihat siapa yang membalas senyumanku sama lebarnya.

Lalu untuk beberapa saat aku merasakan de javu. Astaga ... senyum itu masih sama indah, sama hangatnya, dan sama memesonanya seperti sepuluh tahun lalu. Senyum itu juga masih membuat jantungku seolah mau pecah.

Tuhan ... engkau memang menciptakan senyumnya tanpa cela, atau aku yang terlalu tolol karena masih saja mengagumi senyum yang sama?

***

Hayooooo tebak ini siapa?
Ada yang kangen nggak?

Sa,
xoxo.

Second Chance (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora