[08. Balapan]

111 20 1
                                    

Tetap up walaupun Lo pada jadi silent reader 🙃


HAPPY READING



Setelah mengantarkan Lea, lelaki itu pulang ke rumahnya sebentar hanya untuk sekedar merebahkan dirinya di kasur lalu berpikir tentang apa yang tengah terjadi.  Lelah berdebat dengan hatinya ia pun bergegas pergi kembali menuju markas, benar, rumah keduanya adalah markas Alvaska.

Dengan kecepatan sedang Kara mengendarai motornya, matanya tertuju pada jalan tapi tidak dengan pikirannya.

Pikirnya berkelana tentang apa yang akan terjadi kedepannya, memang benar, besok itu adalah rahasia. Namun, tidak kah sebagai manusia dia bertanya-tanya?

"Nikah muda, gumamnya pelan dari balik helem.

"Gimana nanti kalo gue ga bisa jadi kepala keluarga yang baik? Gue ga mau kaya ayah..

Matanya menatap kosong jalanan kota yang mulai sepi, masih tertinggal bekas hujan yang datang dan pergi sesuka hati.

Kara kembali menghela nafasnya lelah,

"Gue ga yakin gue bisa," Kelopak matanya tertutup sejenak, menenangkan hatinya yang gelisah.

Kara, pemuda itu memberhentikan motornya di warung nasgor pinggir jalan.

"Pak, nasi goreng tidak sepesialnya 2 bungkus," pesannya sembari mengotak ngatik handphonenya.

Pak Mamat, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar pesanan anak muda di depannya ini.

"Kenapa ga mau yang sepesial?" tanya pak Mamat dengan tangannya yang bergerak lincah memasak nasi goreng.

Padahal sudah tertera di kaca steling pak Mamat, NASI GORENG SEPESIAL, 10 RIBUAN.

"Yang sepesial udah ga ada pak, candanya tersenyum tipis menghadap pak Mamat penjual nasi goreng itu.

"Ada-ada aja kamu ini,"

Kara sudah terbiasa membeli makanan di pinggir jalan seperti ini, bahkan pak Mamat salah satu warung langganan anggota Alvaska.

"Nih, selamat menikmati,

Tangan Kara terulur menyambut dua bungkus nasi goreng yang sudah di masukan kedalam kresek hitam.

"Makasih ya, pak." Menyodorkan uang 10 ribu beberapa lembar.

Pak Mamat menatapnya bingung setelah menerima jumlah uang tersebut,

"Kaya biasa pak," Kara tersenyum simpul lalu mengenakan helmnya,

"Alhamdulillah, makasih banyak ya, nak."

Ia mengangguk singkat lalu pergi meninggalkan warung nasgor pinggir jalan itu, masih dengan pikirannya yang bercabang cabang, Kara kembali membelah jalan kota Bandung yang sunyi.

Jalan setapak lagi-lagi di lalui, tak lupa pepohonan besar yang menutup jauh gedung-gedung tinggi yang sempat tampak sebelum masuk ke sini.

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now