[22. Nasib sial]

66 12 0
                                    

Waktu menunjukkan jam setengah enam, pemuda itu terlihat rapi dengan baju kaus hitam yang di balut jaket kulit kebanggaan Alvaska.

Seharusnya jam segini ia rapi mengenakan seragam sekolah Pura'nama, namun, hari ini berbeda, karena tujuannya bukanlah sekolah.

Kara menuruni satu persatu anak tangga, berjalan menuju dapur untuk mengisi perutnya.

"Udah rapi aja, nih." Goda Cakra ikut mendudukkan diri.

"Iya, dong. Kan, mau ketemu Mamah!"

Sarapan sudah tersedia di atas meja, nasi goreng yang lengkap dengan telur ceplok dan ayam goreng. Tentu yang menyediakan itu semua adalah bik Asih, beliau memang hanya bekerja paruh waktu di sini.

Cakra tersenyum simpul melihat Kara yang begitu antusias untuk bertemu Mira, mantan istrinya. Ia berdoa semoga Kara menemukan sang Mamah dan segera melepas rindu yang sudah menggebu.

Tak dapat di pungkiri, jika Cakra sudah lelah menahan gejolak di hatinya. Gejolak rindu asmara yang sudah tertata rapi dengan sempurna sejak tiga belas tahun silam meronta untuk menuntaskan niatnya.

Nyatanya, melihat wanita itu dari kejauhan sama sekali tak mampu menghilangkan rasa rindunya.

Entah bodoh atau apa, Cakra masih menanti perempuan bersetatus ibu putranya itu untuk kembali.

"Pah, Pah!" Kara melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Cakra, "Malah bengong, makan, Pah!"

Cakra terperanjat kaget, terlihat dari tubuhnya yang tersentak. "Eh, iya, ini mau makan," Cakra menjawabnya dengan gugup.

"Mikirin apa, Pah? Masih pagi udah melamun aja," Kara memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Biasa, pekerjaan," ujar Cakra, setenang mungkin.

Kara manggut-manggut saja, sesungguhnya ia tau apa yang tengah Papahnya itu pikirkan.

"Kara duluan, Pah." Menggelap mulutnya dengan tisu, menyalimi tangan Cakra dan bergegas pergi.

Tak ingin membuang buang waktu laki-laki itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, senyum terukir indah di bibirnya. Binar kebahagiaan terlihat memancar pada wajah yang tertutup helm.

Laju motornya semangkin laju membelah kota Bandung yang tak terlalu ramai, tangannya merogoh saku untuk melihat alamat yang ia bawa. Menghabiskan kurun waktu satu jam Kara belum juga sampai pada tujuannya, rasa kesal mulai menggerogoti pemuda itu akibat perjalanannya yang terasa begitu panjang.

Kara kembali melajukan motornya, tidak membawa secara ugal-ugalan walaupun cukup kencang. Laki-laki itu menurunkan laju motornya saat melewati tikungan-tikungan tajam, tak terhitung tikungan yang ia lewati cukup banyak. Ia tak ingin mati konyol dengan cara melajukan motornya melewati tikungan berbahaya seperti itu.

Ingin bertemu ibu takutnya malah bertemu maut,

Jalan yang ditumbuhi banyak pohon bambu membuat kesan horor di jalan setapak ini, iya, Kara sudah memasuki kawasan pejalan kaki yang hanya mampu di lewati kendaraan beroda dua.

Kanan-kiri jalan di tumbuhi pepohonan besar yang bertumpuk-tumpuk dengan pohon bambu. Suasana yang masih begitu asri begitu menenangkan, rasanya sungguh menyenangkan jauh dari perkotaan yang di penuhi debu.

Dengan bermodal kertas selembar Kara mampu sampai ke tujuannya, walaupun beberapa kali nyasar akibat jalan yang ia lalui salah.

Ya mau bagaimana lagi, Kara tak pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini, dirinya selalu menjelajahi kota ke kota.

Tempat ini sudah keluar jauh dari bandung, ini perdesaan walaupun kota besarnya tetaplah bandung.

Kara meletakkan helmnya pada motor sport yang ia miliki, matanya menelisik rumah besar di depannya. Cukup besar memang, walaupun tak sebesar rumahnya.

Kara memarkirkan motornya di bawah pohon rindang tepi jalan, kakinya segera melangkah menyebrang menuju pagar hitam yang menjulang tinggi.

Pemuda itu menatap pagar di depannya, pandangannya silih berganti menatap kertas dan nomor yang tertera pada rumah itu.

"Kayanya bener, tapi sepi.. apa penghuninya hantu?" gumamnya berjalan mengelilingi beton, berharap ada seseorang di dalam sana yang mau membuka gerbang.

Kara menepuk jidatnya pelan, setelah berkeliling seperti maling, matanya mendapati bell pada gerbang hitam itu. Tepatnya di sebelah kanan pada tembok yang melingkar sampai belakang.

Ting

Tongg

Tak lama seorang wanita setengah baya keluar membuka pintu, rasanya jantung Kara ingin copot melihat perempuan itu berjalan mengarahnya.

Rasa gugup takut berputar di otak Kara, bagaimana jika sang ibu tak mengakuinya? Seperti sinetron dan beberapa novel Arion yang sempat ia baca. Semua itu terasa menyakitkan, ya tuhan, pemuda itu tidak mampu berpikir dengan jernih.

Wanita di hadapannya meneliti Kara dari atas sampai bawah, "Cari siapa, ya?" tanyanya, tak berniat membuka pintu. Wajah yang tampak judes membuat bulu kuduk laki-laki itu berdiri.

"Maaf, Tante, apa benar ini rumahnya buk Mira?" Ia bertanya sesopan mungkin.

Wanita itu menaikan kaca matanya yang hampir merosot, "Mira?"

Kara mengangguk pasti, wajah datar perempuan itu seakan siap menerkamnya.

Astaga, Kara siap menebas puluhan laki-laki berbadan besar demi tidak berhadapan dengan ibu-ibu.

"Benar ini rumahnya, Tan?"

"Coba kamu tanya sebelah sana, ganggu waktu tidur saya aja!!"

Pandangan Kara mengikuti arah telunjuk tante galak itu, di saat ia ingin kembali bertanya, wanita yang berada di hadapannya tadi sudah berjalan sampai depan pintu. Sial, sangat tidak berakhlak!

Kara membiarkan motornya terparkir di sana, kakinya menelusuri jalan bebatu saat ingin ke seberang rumah.

"Halloo.. Mas ganteng!"

Kara kaget nyaris terjengkang ke belakang, "Lo siapa?" Ia sedikit mundur melihat cewe dengan rambut acak-acakan, tak lupa bajunya yang lusuh dan nyaris sobek.

Perempuan itu mengelus rambutnya dengan gaya genit, tersenyum malu menatap Kara dengan ekor matanya.

"Mas ganteng, mau tidak nikah dengan Neneng?" Tangannya bergelayut manja di lengan Kara dan segera cowo itu tepis.

"Lo gila, ya?" Kara bersiap akan kabur.

"Aku gila karena kamu mau nikah sama yang lain! Ayo nikahin aku, Mas!"

Perempuan di depannya ia tapsir memiliki umur lebih tua darinya, memang masih kelihatan muda dan cantik? Tapi sayang gila dan kucel.

"Jangan lari, sayang!! Neneng siap jadi istri mu."

Kara lari sekencang mungkin, beberapa kali menoleh ke belakang memastikan jika orang gila tersebut tak lagi mengejarnya.

Kara berhenti mendadak melihat dua ekor anjing galak tidak di rantai berada di hadapannya, mata hewan buas tersebut menusuk Kara siap menerkam.

"Ah, aku menemukanmu, sayang!"

Kara berbalik, menghadap perempuan bernama Neneng yang siap menjadi istrinya. Namun, Kara masihlah waras!

Pemuda itu mengusap beberapa kali lengannya mendengar lolongan anjing yang mirip dengan serigala,

"Gue ga mau mati konyol!!" Kakinya berlari meninggalkan dua ekor anjing dengan seorang perempuan.

Terlihat mereka bertiga kompak mengejarinya, Kara menghadap ke belakang sembari terus berlari.

Wanita gila itu ketinggalan jauh, tapi.. dua ekor binatang buas itu begitu dekatnya.

Buntu, sial ini gang buntu!

Melihat anjing itu mendekat, Kara bergegas melompat masuk kedalam bak sampah yang lumayan tinggi.

Berkali-kali ia mengumpat di dalam hati, ya tuhan, cobaan apa ini!!!

Luka Untuk Lea || On Going Onde histórias criam vida. Descubra agora