[36. Tindakan Lea]

29 3 0
                                    

Perseteruan antara kedua wanita berbeda status itu semangkin panas sejak kedatangan Hamdan beberapa menit yang yang lalu. Karin yang terus bersikeras ingin mengambil alih kedudukan Lea membuat menantu dari seorang pengusaha itu menuntut hak nya.

Lea memegangi pipi sebelah kirinya yang di tampar dengan keras, matanya tak memburam melainkan menatap tajam. Sudah cukup selalu di injak, sudah cukup dirinya selalu mengalah, cukup sudah takdir mempermainkannya.

"Seperti ini kelakuan menantu mu, Cakra?! Menghina putri ku dan memperlakukannya layaknya binatang!"

Kara berusaha menegur, tetapi Lea menatapnya. Melalui tatapan Lea memintanya untuk tetap tenang. Memang seperti itulah seharusnya menghadapi kearoganan.

Seolah mengerti maksud Lea, Kara sontak terdiam. Namun, terlihat dia tidak senang dengan perlakuan Hamdan terhadap istrinya.

Plak!

Plak!

Dua kali tamparan keras mendarat di kedua pipi Karin, Hamdan menatapnya tak percaya, begitu juga dengan Kara dan Cakra.

Karin terduduk lemas memegangi kedua pipinya yang menjalar rasa panas, Hamdan segera menghampiri Karin dan menenangkan putrinya itu. Matanya menelisik, menatap Lea tajam dan penuh dendam.

Lea membalasnya dengan tatapan tenang dengan alisnya yang terangkat sebelah menantang. Tak sia-sia Nandra—Ayahnya mendidik sekeras batu walau tak sekuat baja. Tidak rugi ia mengikuti perkataan kakaknya—Sea untuk bersikap angkuh di depan seorang bajingan.

Nyatanya dua orang yang pernah menyakiti nya membuatnya tumbuh menjadi wanita kuat, walaupun dalam logikanya mereka telah menorehkan luka yang begitu dalam.

Lea berjalan mendekati Karin yang duduk bersimpuh dengan isak tangis, Dia tersenyum menatap Karin, tangannya terulur meraih dagu wanita ular itu. Mencengkeram erat dagu Karin sehingga terdengar ringisan dari bibirnya.

"Satu tamparan untuk membalas tindakan mu! Dan satu tamparan lagi untuk membalas sikap lancang ayahmu yang telah berani menampar saya!" pungkas Lea pelan namun penuh penekanan.

Terdengar giginya yang mengeras menahan emosi yang ingin kembali meledak, "Dengar! Hanya ayah saya yang boleh menampar saya, dan cuma orang tua saya yang boleh memperlakukan saya layaknya bintang! Untuk anda— jari telunjuknya mengarah pada Hamdan, "Jangan mencoba melakukannya karena saya akan membalas perbuatan anda itu!!"

Kara lekas menghampiri istrinya, membawa tubuh itu ke dalam dekapannya. Tak ingin banyak memori luka yang ter-ungkit dan tak ingin pertengkaran ini semangkin membesar. Ia takut Lea bertindak nekat dan Karin bertindak lebih.

"Pah, usir mereka dari rumah ini!" Pinta Kara, Cakra segera menyeret Hamdan keluar, pria paruh baya itu sudah tersulut emosi sedari tadi.

Di rumah ini memang tidak ada satpam sehingga banyak orang yang memasuki kawasan rumahnya sesuka hati. Sepertinya mulai sekarang rumah ini akan di jaga dengan ketat, bila perlu Kara membayar bodyguard untuk mengawal istrinya.






~🌻~




Lea menghempaskan bobot tubuhnya pada sofa, menarik nafasnya dalam-dalam lalu membuangnya berlahan, secape ini marah-marah?

"Minum dulu," ujar Kara.

Lea meneguk nya hingga tandas tanpa sepatah katapun, pikirannya masih tertinggal pada kejadian beberapa menit lalu. Ia kalut sampai sulit mengontrol dirinya, emosinya meledak begitu saja, sempat terlupakan jati dirinya yang biasa, akibat kedatangan dua hama pengganggu itu.

"Udah tenang?" Kara duduk di samping Lea, mengusap pelan punggung belakang wanita itu.

"Aku kelepasan," Lea bergumam.

"Maafkan Papah atas kejadian ini, Papah tidak mengira mereka akan bertindak bodoh dan nekat!"

Lea menegakkan kepalanya menatap Cakra, "Ga ada yang salah, Pah."

Tig!

Tong!

"Ada tamu," Cakra melirik ke pintu.

Kaki Kara melangkah lebar mendekati pintu, tangannya terulur memutar handle pintu tersebut.

"Masuk, Bu." Pemuda itu mempersilahkan Bella—ibu mertuanya untuk masuk.

Di ikuti Sea dan... Fardhan? Mantan musuh bebuyutannya itu ikut serta, padahal tadi ia hanya mengabari ibu mertuanya saja.

"Ibu?" ujar Lea setengah kaget, buru-buru ia berdiri dan mencium punggung tangan ibunya.

"Kamu ga papa?" tanya Bella, memutari tubuh mungil Lea.

"Lo bukan ngabarin dari tadi, biar gue dateng cepet!" celetuk Sea yang terlihat kesal. Ia menduduki sofa di depan Cakra, di ikuti Fardhan juga Bella di sebelahnya.

Dua keluarga ini kini duduk saling hadap, Lea tertawa kecil mendengar ucapan Sea. "Aku bisa mengatasinya, Kak."

"Sebenarnya ada apa ini, Cakra? Saya dengar kamu ingin menjodohkan anak mu dengan putri Hamdan? Lalu bagaimana dengan putri saya? Bagaimana dengan perjanjian kita?"

Cakra mengacak kasar rambutnya mendengar pertanyaan beruntun dari Bella, "Kamu gagal paham, Bell. Saya tidak pernah menjodohkan Kara dengan siapapun kecuali dengan anak mu, ini hanya kesalah pahaman saja," jelasnya, berharap mantan istri dari Nandra itu mengerti.

Ya, Bella dan Nandra resmi cerai semenjak kejadian itu. Bella yang melanjutkan karir nya sebagai model dan Nandra yang melanjutkan hidupnya di penjara. Cukup adil bukan?

Sementara itu, di sisi lain, pada belahan dunia yang sama. Sepasang ayah dan anak itu adu mulut dengan suara yang menggelegar seisi rumah megah itu.

"Karin ga mau tau, Pah! Karin cuma mau nikah sama Kara!!"

"Jangan gila, Karin! Ayah selalu menuruti keinginan mu! Tapi permintaan mu kali ini benar-benar membuat ayah gila!!!" Bentak Hamdan.

"Arghhhh!!" Teriak Karin frustasi.

Prak!

Prak!!

Guci-guci mahal itu pecah berhamburan di atas lantai.

"Stop, Karin!" Pekik Hamdan melihat Karin yang membabi buta menghancurkan barang-barang di sekitarnya.

Tangan besarnya menarik gadis itu ke dalam pelukannya, "Tenanglah, Karin. Di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih dari Kara," ujar Hamdan dengan suara yang mulai memelan.

Pria paruh baya itu cukup menyayangi anak semata wayangnya itu, dari kecil keinginan Karin selalu di terpenuhi. Hamdan menyesal telah memanjakan Karin dengan begitu berlebihan, kini putrinya itu tumbuh menjadi sosok egois yang selalu ingin menang sendiri.

Karin terisak pelan, cinta benar-benar membuat nya gila. Kenapa harus berpisah? Mereka telah berjanji untuk bersama lantas kenapa semuanya sirna begitu saja?

"Kenapa, Pah? Kenapa Kara nikah sama perempuan lain? Kenapa, Pah. Kenapa?!!!" Mengguncang kuat tubuh ayahnya.

"Tenanglah, Karin." Hamdan mengusap lembut punggung belakang Karin. Ia dapat merasakan tubuh bergetar putrinya akibat menangis hebat.

Ini salahnya, seharusnya ia tidak kembali ke Bandung.

"Dengar, Nak. Kamu tidak bisa memaksakan segala sesuatu untuk menjadi milik mu, yang menjadi milik orang lain lepaskan, jangan merebut nya karena itu bukan hak mu."

"Karin mau Kara, Pah. Kara milik Karin, di sini yang menjadi perebut perempuan itu, Pah! Dia yang udah menghancurkan impian Karin, kalo aja dia ga nikah sama Kara, pasti sekarang Karin masih sama Kara, Pah!!" Teriak Karin dengan sorot mata penuh dendam, tangannya terkepal kuat dengan gigi yang saling menggerutuk.

'Saya akan mengambil milik saya kembali, Allea almahira!'

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now