[17. Pelukan yang pernah hilang]

85 18 2
                                    

Hujan turun dengan derasnya sore ini, pepohonan tampak berguncangan karena angin berhembus begitu kencang. Lea memejamkan matanya sejenak saat angin menerpa wajahnya, seulas senyum terbit di bibirnya saat ada pelanggan memasuki cafe.

Langkahnya mendekati pria berjas hitam yang baru saja mendudukkan diri,

"Permisi, mau pesan apa ya, pak?" ujar Lea, waiters di cafe ini.

Sosok berbalut jas itu mengadah mendengar suara yang cukup pamilar, "Lea?" kagetnya, apa yang di lakukan anak sahabatnya di sini?

Buru-buru Lea menyalimi tangan Cakra, "eh? Om, mau pesan apa?"

Cakra celingukan, "Kamu waiters di sini?" tanyanya tak dapat menyembunyikan rasa penasaran.

Lea tersenyum kecil lalu mengangguk singkat, "Iya, Om."

"Duduk dulu, Papah mau bicara,"

"Tapi nanti Aku di marahin sama atasan, Om."

Cakra dapat melihat kegusaran pada wajah Lea, "Yang punya cafe sahabat papah, nanti papah bicara langsung sama dia."

"Apa yang mau di bicarain, Om?" tanya Lea seraya menarik satu kursi.

"Kenapa kamu bekerja? Apa Nandra, ayahmu sudah tidak sanggup membiayai kebutuhan mu, Lea?"

Lea menggeleng, "Aku cuma belajar mandiri, Om. Ga lebih," tuturnya lembut.

Dengan terkekeh kecil Cakra menjawab, "Papah tau semua yang kamu sembunyikan, Lea. Sekuat apapun kamu menutupinya, Papah tetap akan tau semuanya."

Lea tak bergeming menunduk,

"Biaya sekolah? Uang Les?"

Pertanyaan Cakra di balas anggukan lemah dari Lea,

"Sekolah itu punya Papah, kenapa kamu harus membayar? Soal uang Les, peralatan sekolah, itu bisa Kara yang tanggung. Kamu ga harus kerja, kamu pasti cape."

Lea mengadah, "Tapi Kak Kara bukan siapa-siapanya Lea, Om. Ini bukan tanggung jawab dia,"

"Kara itu calon suamimu, Lea. Biarkan saja dia membiayai mu, hitung-hitung belajar jadi suami yang baik."

"Tap-"

"Papah ga terima alasan apapun, berhenti memaksa tubuhmu untuk bisa melakukan segala hal." Tak sempat Lea menyela Cakra langsung memotong ucapannya.

"Ini demi kebaikan kamu, hargai orang yang peduli padamu, Lea." ujar Cakra kembali melihat keterdiaman Lea.

"Kak Kara kan galak, nanti Aku di terkam pula sama dia gara-gara minta biaya hidup." cicit Lea pelan dan Cakra mendengarnya.

"Liat aja kalo dia berani marah-marahin kamu, Papah nikahin langsung dia!" sarkas Cakra yang berhasil membuat pupil mata Lea membesar.

"Jangan, Om. Aku belum siap jadi istri," spontan Lea menutup mulutnya yang lancang berbicara seperti itu, pede sekali dia, bagaimana jika Cakra menikahi putranya bukan dengan Lea? Astaga malunya, Batin Lea berteriak.

"Ada yang udah terima jadi calon istri nih," Cakra menaik turunkan alisnya menggoda Lea, sungguh pipi Lea memerah menahan malu di depan calmer.

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now