[24. Sebuah rencana]

97 9 3
                                    

MAAF INI PART KETINGGALAN, HABIS BACA 23 LANJUT INI YA BIAR NYAMBUNG


Terdengar langkah kaki mendekat dengan begitu cepat, pemuda itu dapat merasakan ada yang menolak pintu kamarnya dengan kuat.

Brak!

"Ada apa, tuan muda?" Nafas bi Asri tersengal-sengal, mengingat umurnya yang tak muda lagi membuat tenaganya tak lagi kuat.

"Papah kesurupan, bik!"

Pletak!

Jidat Kara di sentil dengan kuat, "Siapa yang kesurupan, hah?!" pungkas Cakra dengan kedua tangan di pinggang.

"Loh, jadi Papah ga kesurupan?" Kara mengerjab pelan.

Ting tong!

Belum sempat Cakra menjawab bel pintu terdengar di telinga,

"Itu pasti Mamah!" Kara berlari keluar dari kamar.

"Mamah? Maksud kamu apa Kara!" Cakra menyusul dengan langkah lebarnya.

Bi Asri menggaruk pipinya yang tak gatal, "Saya di panggil buat di tinggal?" Beliau bergumam.

***

"Lama banget nyampenya, Mah?" Kara menarik tangan wanita itu menuju sofa.

Mira tersenyum, "Kamu kan naik motor, sayang."

Kara memang mengajak Mira untuk datang ke rumahnya, tentu saja sebagai tamu. Sebab Mira dan Cakra tidak lagi memiliki hubungan sah suami istri.

"Duduk aja, Mah. Jangan sungkan, itu ada Papah ajak aja ngobrol." Kara terkikik melihat sang Papah yang memelototi nya.

"Silahkan di minum, nyonya, tuan." Bi Asri meletakkan dua es jeruk dengan satu gelas air putih berisikan potongan lemon. Setelahnya paruh baya itu kembali pamit ke dapur.

Hening,

Tidak ada yang membuka suara, bahkan Kara hanya sibuk dengan hanponenya.

"Bagaimana kabarmu?"

Kara melirik sang Papah sebentar, akhirnya laki-laki itu menurunkan gengsinya untuk bertanya lebih dulu.

Mira tampak kikuk, "Baik, Mas. Bagaimana denganmu?" Ia tersenyum canggung.

Cakra mengangguk, "Selalu baik," jawabnya, mata Kara tampak mendelik, mulutnya pun ikut menggerutu. Papahnya itu pandai berbohong.

"Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu," kata Cakra,

Mira terlihat mengerutkan dahinya, "Hal apa itu, Mas?"

"Putra kita.. akan segera menikah."

Mata Mira membola, "Menikah? Dengan siapa? Kenapa mendadak?" Pertanyaan seakan berlomba lomba untuk keluar.

"Kamu tidak menghamili anak gadis orang kan, sayang?" Menoleh pada Kara yang sedari tadi diam menyimak.

Pupil mata Kara membesar sejenak, "Astaga, ga mungkin lah, Mah!" timpalnya, apa-apaan mamahnya ini, dia anak baik-baik. Sungguh.

Mira terkekeh kecil, "Sekarang kasih tau aku, Mas. Siapa calon istri putra kita," Wanita itu terlihat lebih rileks, tak secanggung tadi.

"Namanya Lea, dia satu sekolah dengan Kara, gadis itu anak yang baik." tutur Cakra memuji Lea.

"Apa kamu mencintai gadis itu?"

Kara menggeleng pelan, berkali kali ia meyakini diri untuk belajar mencintai Lea. Namun, tak sedikitpun ada rasa cinta. Perhatian yang kadang ia berikan, hanyalah semata-mata rasa perduli kepada teman.

Luka Untuk Lea || On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang