[21. Alamat?]

74 12 1
                                    

Di luar hujan turun dengan lebatnya membasahi kota bandung yang sempat di singgahi debu. Langit yang menggelap karena kedatangan malam kini kian semangkin menggelap saat hujan berhasil menyapa bumi.

Cafe tempat Lea berkerja benar-benar sunyi, hanya ada sekitaran sepuluh orang lagi yang masih menetap. Mungkin_ ingin pulang namun terhalang hujan.

Lea menatapi setiap tetesan hujan yang jatuh menghantam bumi dari sebalik kaca, meratapi jalan sunyi yang di isi angin lalu. Berulang kali air hujan itu berjatuhan, tak jarang ada yang menghantam bebatuan besar.

Melihat hal tersebut berulang kali mampu membuat Lea sadar, bahwa ia tak jauh berbeda dengan air hujan. Jatuh berkali-kali dan selalu di paksa untuk bangkit kembali, Lea kembali akan teringat dengan perkataan Della, ibunya.

"Sudah bodoh, nyusahin dan bikin malu!"

"Sampai kapan kamu harus mempermalukan saya, hah? Orang orang akan berfikir saya tidak memberi mu makan sehingga kamu harus bekerja banting tulang!"

"Kamu telah merusak nama baik keluarga Sawa'ntara, Lea!"

Lea menghapus kasar air matanya, wajahnya menunduk menatap lantai yang dingin. Matanya kembali beralih pada suara gemericik kan air yang berada di luar, kembali berputar semua perkataan Della-ibunya.

Bekerja banting tulang seakan ia tak di beri makan? Lea terkekeh miris mengingatnya, bagaimana jika awak media tau bahwa putra tunggal sawa'ntara telah menelantarkan salah satu putrinya? Tidak kah itu lebih merusak nama sang ayah?

Bagaimana jika Ia menyebar berita bahwa Nandra-Ayahnya-tidak sebaik yang orang-orang lihat? Apa yang terjadi jika Lea berbisik pada media bahwa ayahnya adalah monster yang menakutkan? Sosok yang selalu memukulinya tanpa alasan yang jelas, angka, angka dan angka. Lea mulai muak dengan semua itu.

Mendapatkan nilai sembilan puluh sembilan berhasil membuatnya di anggap bodoh, Nandra selalu mempertontonkan Sea di media, selalu memuji gadis itu akan prestasi yang ia punya.

Sampai kapan ini berlanjut dan kapan ini berakhir? Lea juga ingin menjadi seperti sang kakak.

Lea menghela nafasnya lelah, di didik keras, kasar dan tanpa kasih sayang membuat Lea tumbuh dengan mental yang terbunuh.

"Menung mulu, Le. Kenapa?"

Lea menoleh ke asal suara, seorang laki-laki bertubuh jangkung berdiri sembari menyesap kopi.

"Bosen aja, ga ada pelanggan," jawab Lea kembali menatap ke luar jendela.

Cowo itu meletakkan kopinya di atas meja, berjalan mendekati Lea yang enggan menatapnya.

"Kamu ada masalah?"

Lea menggeleng pelan, namun mata itu tak dapat berbohong kepada siapapun. Termasuk pemuda yang tengah berada di sampingnya.

"Kayanya kamu terlalu menutup diri ya, Le?"

"Aku ga nutup apapun, Dam." jawab Lea, ia mulai merasa bahwa Damian mulai mengulik tentang kehidupannya.

Damian menghela nafasnya panjang, ternyata benar, membuat sosok dingin tertawa lebih mudah dari pada membuat seorang pendiam bercerita.

"Kamu ngapain di sini?" Lea mencoba mengalihkan pembicaraan, tak ingin pembicaraan tadi berlanjut.

"Di sana ga ada temen, jadi di sini." ujar Damian meraih secangkir kopinya yang hampir dingin.

Damian adalah sosok laki-laki yang memiliki wajah manis, ia juga bekerja di sini untuk menghidupkan keluarganya. Bukan sebagai waiters tapi sebagai seorang satpam.

Luka Untuk Lea || On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang