[32. ʚɞ 9 Januari ʚɞ]

56 3 3
                                    

Hari ini tepat tanggal 9 Januari 2024 Kara berhasil membangun rumah untuk ia dan sang istri. Rasanya masih tak yakin jika di umurnya yang masih menginjak sembilan belas tahun ia harus sudah menafkahi anak perempuan orang.

Takdir memang tidak bisa di tebak, semesta benar-benar memiliki begitu banyak kejutan.

Lea memandang kagum rumahnya, ralat, rumahnya dan rumah Kara. Rumah ini akan menjadi milik keluarga kecilnya. Memang tidak semewah rumah keluarganya, tidak pula semegah rumah keluarga Maheswera.

Rasanya sudah cukup bersyukur memiliki rumah sebesar ini dengan jerih payah sendiri, merintis sedikit walaupun kenyataannya Kara adalah pewaris tunggal dari keluarganya.

"Sampe kapan Lo mau bengong di situ?" Kara duduk di teras, memperhatikan Lea yang masih memandang kagum rumahnya dari pintu gerbang.

Perempuan itu mengerucutkan bibirnya lalu berjalan mendekati Kara, "Kata Papah ga boleh Lo gue sama istri!"

Kara kembali di tarik pada kejadian dua hari yang lalu, saat Cakra-Papahnya menyuruh ia dan Lea untuk berkumpul di ruang tamu.

Flash back

Cakra memijat pelipisnya berkali kali, "Jadi di mana istri mu, Aska?!"

Tampak Kara menggaruk tengkuknya, "Ga tau aku, Pah." Pemuda itu mendudukkan dirinya di atas sofa.

"Loh, kamu di sini? Bukannya tadi lagi di halaman belakang ya?" Lea berujar, berjalan mendekati Kara dan Cakra.

"Nah ini, Pah. Udah nemu orangnya," kata Kara. "Lo manusia atau makhluk halus? Dari tadi di cariin ga ada tiba-tiba nongol di sini!" Mata Kara mendelik sinis.

Kara benar-benar tengil dan menyebalkan di mata Lea sejak laki-laki itu sah menjadi suaminya, tak ingin berdebat Lea membuang pandangannya ke arah Cakra yang tampaknya frustasi menghadapi ia dan sang suami.

"Maaf, mau bicara apa, Pah?" tanya Lea duduk dengan tenang.

Cakra menarik nafasnya dalam-dalam lalu membuangnya berlahan, matanya silih berganti menatap Lea dan Kara.

"Kalian udah sama-sama dewasa, kan?" Spontan Kara dan Lea mengangguk. "Bisa bersikap layaknya suami istri? Ini memang sulit, tapi ga ada salahnya kalo mau nyoba. Demi kebaikan kalian kedepannya." Cakra menatap keduanya serius, ia harus bertindak tegas membimbing kedua anak muda ini.

Kara terpaku sejenak, Lea pun ikut terdiam dan sibuk dalam pikirannya.

Bertingkah layaknya suami-istri? Batin Lea bertanya, "Bukannya aku udah melakukan kewajiban sebagai seorang istri, Pah?" Kening perempuan itu mengerenyit, heran dengan permintaan mertuanya.

Di mulai memasak, menghidangkan makanan untuk suaminya, mencuci, menyetrika sampai menyiapkan pakaian Kara Lea lakukan. Bukankah ia sudah memenuhi kewajibannya?

"Bertingkah layaknya suami-istri gimana, Pah?" tanya Kara heran, "Aku sama Lea tidur satu kamar, uang bulanan aku kasih, bukannya aku telah memenuhi tanggung jawab ku sebagai suami dengan menafkahinya?"

Cakra tersenyum simpul, putranya masih terlalu muda untuk berumah tangga. Tapi inilah takdir yang tercatat, putra semata wayangnya itu harus meninggalkan cita-cita dan membimbing keluarganya.

"Hanya sekedar tidur satu kamar dan menafkahinya? Tidak semudah itu memenuhi tanggung jawab mu, kebahagiaan istri mu adalah tanggung jawab mu, Aska!" Pandangan Cakra berganti menatap Lea yang diam membisu.

"Lea, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri bukan sekedar melayani fisiknya. Bukannya selama ini kamu memasak dan mencuci hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai seorang istri? Kamu melakukannya tanpa cinta walaupun yang kamu lakukan adalah ikhlas."

Mulut Lea enggan terbuka, apa yang di katakan Papah mertuanya benar. Semua itu semata-mata memenuhi kewajibannya, sejauh ini memang belum ada cinta di antara mereka.

Lea yang sulit jatuh cinta harus di satukan dengan Kara yang mungkin belum selesai dengan masa lalunya. Bagaimana cinta itu ingin tumbuh jika tidak ada niat di hati satu sama lain, Lea telah berusaha, namun bagaimana dengan Kara? Bersikap lebih lembut saja laki-laki itu tidak bisa.

"Jadi Aku sama Lea harus apa, Pah?" Tak tahan dengan kebingungan yang berserakan di otaknya, Kara memilih membuka suaranya untuk mendapatkan jawaban yang tepat.

"Bangun sedikit cinta untuk rumah tangga kalian, dan satu lagi-" Cakra menjeda ucapannya. "Gunakan kata yang lebih sopan saat berbicara dengan istri mu, bisa aku kamu kenapa harus Lo gue? Kalian suami istri atau hanya sekedar sepasang orang asing yang saling mengenal?"

Flashback off

"Mau sampe kapan kamu bengong di situ?" tanya Lea dengan senyum mengejek, kakinya sudah melangkah masuk ke dalam.

***

Mata Lea memindai setiap sudut, tak henti hentinya mengagumi rumahnya yang terkesan unik. Beberapa guci antik yang tersusun di lemari kaca begitu menarik perhatian Lea. Tv, kulkas beserta sofa sudah tersusun begitu rapi, tanah yang semulanya kosong kini telah di sulap menjadi tempat tinggal yang sudah lengkap dengan perabotan di dalamnya.

"Kamu ambil uang di mana bikin rumah ini? Kamu korupsi ya?" tanya Lea tanpa mengalihkan pandangannya.

Kara memutar bola matanya malas, "Ngepet gue tiap malem Jum'at!"

Mata Lea membola, "Astaga, kamu Babi?"

Tak!

Lea mengusap pelan jidatnya yang baru saja di sentil Kara dengan pelan, "Kekerasan dalam rumah tangga ini!"

"Salah kamu, siapa suruh nuduh sembarangan!" Laki-laki itu menaiki anak tangga dengan hentakan kuat.

Lea berlari kecil mengejar Kara dengan senyum jahil, "Ciee.. udah pake kamu engga elo lagi." Berjalan sejajar dengan Kara, masih menatap pemuda itu dengan senyum menyebalkan.

"Katanya jodoh itu cerminan diri, apa gue gila?" gumam Kara begitu pelan, sehingga Lea tidak dapat mendengarnya.




~🌻~








Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, rasa ngantuk mulai menghampiri Lea. Sebelum mata itu terpejam, Kara lebih dulu mengguncang tubuhnya pelan.

"Jangan tidur," Kara menaiki ranjang dengan pelan.

"Aku ngantuk, Kak." Lea menarik guling lalu memeluknya dengan erat.

Kara menarik guling itu dan membuangnya ke bawah, "Jangan tidur, gue mau minta hak gue!"

Tubuh Lea terduduk tegak dengan pupil mata melebar, "Mi-minta hak?" tanyanya ragu.

"Kamu udah siap, kan?" Lea menggeleng dengan cepat.

"Gue mau punya anak, Lea." ujar Kara dengan nafas memberat membuat bulu kuduk Lea berdiri.

"Lo tau kan caranya bikin anak?"

Lea meringsut mundur, menarik selimutnya hingga ke atas dada. "Tau lah," jawab perempuan itu sinis.

"Bikin nya ga pake tepung terigu sama telur Lea." Kara terkekeh pelan, "Kita bukan mau bikin cake," lanjutnya, duduk di tepi ranjang.

"Kamu pikir aku bego?! Aku juga tau bikin nya bukan pake tepung! Aku pernah belajar dan aku sekolah!!"

"Kalo kamu tau coba ajarin gue,"

"Bicara pake kata Aku bukan gue!" Lea mengingatkan.

"Iya iya! Bawel. Jadi mau apa enggak?" tanya Kara tiduran di sebelah Lea.

"Aku ga mau kak melakukannya atas dasar nafsu bukan cinta."






KOMEN NEXT DONG BIAR SEMANGAT!

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now