[09. Segera menikah?]

133 23 1
                                    

Pagi ini hujan kembali turun dengan lebatnya membasahi kota bandung, entahlah, di bulan agustus ini mungkin musim hujan datang kembali. Cuaca seperti ini begitu di sukai kaum rebahan yang sangat mageran,

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari tidur, menurut Bram.

Tidak ada yang lebih asik dari main hujan, bagi Kelvin.

Lain halnya dengan Elvan, pria itu lebih memilih bermain game sembari mengunyah permen karet yang sudah tak lagi manis. Ini lebih asik dari main hujan dan jauh lebih menyenangkan dari tidur, pikir Elvan.

Arion pokus membaca buku, mungkin sedikit unik, karena jarang sekali ada laki-laki yang menyukai novel. Pria yang satu ini begitu banyak mengoleksi buku di rumahnya, bahkan ia memiliki perpustakaan kecil di dalam kamar.

"Kara, yang ia lakukan jauh lebih berbeda. Kini di dalam otaknya bersarang perempuan bernama Lea, pria bertopi hitam itu meraup wajahnya kasar, sial, hal yang tidak berpaedah menurutnya kini menganggu pikirannya.

Kelvin mengacak-acak rambutnya yang basah, percikan air dari rambutnya mengenai wajah Bram yang tertidur dengan tenang. Mata sipitnya terbuka akibat ulah Kelvin, menguap kecil seraya mengucek matanya pelan.

"Atap sekolah kita bocor ya?" Bram mengadah menatap ke atas, meneliti semua plafon yang ada.

"Buku gua basah Lo bikin!" sarkas Arion menatap tajam Kelvin yang cengengesan.

"Itu si bos kenapa dah, melamun mulu,"

Ketiga pemuda itu menoleh ke arah Kara, benar saja apa yang di katakan Elvan barusan, laki-laki itu sibuk melamun entah apa yang tengah ia pikirkan.

"Ngapain natap gue kaya gitu?" sarkas Kara tiba-tiba membuat Arion, Bram juga Kelvin terperanjat kaget.

Elvan tertawa terbahak-bahak melihat wajah kocak ketiganya saat kaget, di tambah lagi Arion jarang sekali menunjukkan wajah kocaknya, pria cool yang satu itu berhasil membuat Elvan tak mampu menghentikan tawanya.

Ketiganya menatap Elvan datar yang masih tertawa sampai ngik ngok, hidungnya kembang kembut kini ia sudah mirip seperti..

"Nanti malam gue tunangan,"

Perkataan yang keluar dari mulut Kara berhasil membuat Elvan terdiam seketika, "Tunangan bos?"

Kara mengangguk singkat, ia masih tak percaya jika sebentar lagi ia benar-benar menikah.

"Ga langsung nikah aja, Kar?" usul Arion menghadap Kara yang duduk di barisan sebelahnya, lebih tepatnya di bangku ke dua di depan tempat duduk Elvan.

"Belum tau, keputusannya nanti malam. Gue udah ngomong ke papah gue buat ngelakuin pertunangan aja dulu," jelas Kara panjang, untungnya di dalam kelas hanya ada mereka berlima jadi bebas untuk membahas tentang ini.

"Habis tunangan baru nikah gitu?" Bram, pria itu membuka suaranya.

Lagi-lagi Kara mengangguk, "Maksud gue minta waktu buat selesain masa SMA,

"Kita lulus masih lama lagi cok," sarkas Kelvin duduk di atas meja.

"Tau, tapi masa ia gue nikah pas masih sekolah," celetuk Kara bingung sendiri. "Istri gue mau di kasih makan apa nanti," Kara membuka topinya lalu menyugar rambut itu kebelakang setelahnya topi hitam kembali terpasang di kepalanya.

"Ga terlalu lama, bentar lagi kita UKK, celetuk Arion.

"Uang lo kan banyak, kaya raya gini," jawab Elvan bersedekap dada dengan kakinya yang berada di atas meja.

"Yang kaya bokap gue," timpal Kara.

"Secara warisan pasti ada buat Lo," Elvan berucap kembali.

"Warisan jatuhh ke tangan Gue kalo papah gw udah ga ada kan?"

"Jadi om Cakra harus mati dulu?" celetuk Bram dengan lugunya hal tersebut berhasil membuat Kara, Elvan juga Arion menepuk jidatnya kasar. Kelvin meringis takut mendengarnya,

Jika posisi Bram saat ini adalah Kelvin di pastikan ia langsung di kirim ke neraka tanpa biaya oleh Kara.

"Ga boleh bilang gitu," peringat Arion menghadap laki-laki bermata sipit itu.

Umur Bram sudah 17 tahun, namun pikirannya masih seperti anak balita yang baru saja ingin mengenal dunia. Aneh memang, tapi ini kenyataan. Mungkin penyebab lingkungan ataupun pertumbuhan yang terhambat,

~ 🍭~


Lea, gadis manis itu kelihatan begitu cantik hari ini, rambutnya yang bergelombang di biarkan terurai dengan mahkota kecil di atas kepalanya.

Lea menatap dirinya di depan cermin, ia sempat terkagum pada wajah yang ia lihat di cermin.

"Kamu cantik," Lea bergumam pada dirinya sendiri.

"Kamu bisa bahagia?" tanyanya menatap sendu cermin itu.

Hanya suara jam dinding yang terus berjalan, cermin tidak mungkin menjawab karena cermin besar di hadapannya adalah benda mati. Yang bersuara adalah hati kecilnya, mengambil peran di dalam cermin yang memantulkan bayangannya.

Menurut Lea berbicara di depan cermin itu menarik, bisa berkomunikasi dengan diri sendiri itu menyenangkan. Sebab, tidak ada tempat berpulang, tidak ada tempat mengadu, tidak ada teman cerita. Kecuali, diri sendiri.

Lea melirik jam dinding yang terus berputar, ia membawa langkahnya menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana. Kegusaran bersarang pada hatinya, bahkan keraguan terus menghantuinya.

"Lo udah siap? Sebentar lagi calon suami Lo datang,"

Lamunan Lea buyar saat mendengar suara kakaknya itu, kapan perempuan itu masuk ke kamarnya?

"Udah kak," jawab Lea pelan.

Sea mengangguk sembari meneliti penampilan Lea, "Cantik juga Lo," pujinya walaupun masih terlihat angkuh.

Lea termangu sebentar, kena angin apa kakaknya ini sampai memuji dirinya cantik? Atau mungkin kerasukan setan?

"Gue turun, Lo nyusul." Sea langsung meninggalkan Lea, perempuan angkuh itu kembali menutup pintu kamar Lea.

Lea meraih hanponenya yang berada di atas meja, kemana sahabatnya itu? Kenapa chat yang ia kirim tidak kunjung di baca? Dia butuh Rasya, Lea butuh sahabatnya itu,

Lea segera beranjak dari duduknya, kakinya ia bawa melangkah keluar dari kamar. Lea menarik nafasnya dalam lalu membuangnya berlahan, mengulang nya beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugup.

Kaki jenjangnya menuruni satu persatu anak tangga dengan pelan, menatap orang-orang yang juga tengah menatapnya.

"Cantik," Sepontan kata itu keluar dari mulut Kara dengan pelan.

"putri Om memang cantik, Kara." timpal Nandra dengan terkekeh kecil.

Hati Lea menghangat mendengar ucapan sang ayah, Lea tidak salah dengar? Senyum tipis terukir cantik di bibirnya, bukan karena Kara yang memujinya, tapi karena perkataan Nandra yang membuat hatinya berbunga-bunga. Ternyata benar, cinta pertama anak perempuan adalah seorang ayah.

"Sini duduk Lea," Della berujar dengan begitu lembut.

Tak ingin membantah Lea segera mendudukkan dirinya di samping Della, ibunya.

"Ini putri tante Kara, namanya Allea. Pertemuan pertama perkenalan kita berlangsung secara tidak baik," Della mengusap pelan bahu Lea sehingga terangkuh lah tubuh mungil itu kedalam pelukannya.

Lea menitikkan air matanya, ternyata ini rasanya di peluk ibu? Hangat, nyaman dan begitu menenangkan. Lea ga tau kapan terakhir kali ibunya memeluk tubuhnya seperti ini,

"Lea kenapa nangis?" tanya Cakra lembut, Kara pun termangu di buatnya. Ternyata ayahnya ini bisa berbicara dengan lembut juga,

Della melepaskan rangkulannya setelahnya Lea kembali menegakkan tubuhnya, "Ga papa, om. Cuma kelilipan," Menghapus pelan air matanya.

"Kelilipan kok sebanyak itu, pembohong." cecar Kara kesal, Entahlah, ia merasa tidak suka jika harus melihat gadis di depannya ini menangis.

"Lo nangis karena di peluk tante Della kan?"

Luka Untuk Lea || On Going Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin