[34. Luka baru]

33 4 2
                                    

Hari ini perempuan muda itu cukup senang, suaminya begitu menyukai makanan yang ia masak. Di rumah bernuansa putih mulus tercium aroma lezat masakan Lea, ia tengah memasak nasi goreng kesukaan Kara yang akan bersanding dengan ayam kalasan.

Soal masak Lea memang jagonya, dari kecil ia terbiasa memasak untuk keluarganya. Walaupun kala itu penuh siksa dan duka, tapi hari ini ia memasak nya dengan penuh senyum dan cinta.

Siapa sangka pernikahan paksa ini menghasilkan secuil kebahagiaan untuknya, sedikit rasa tumbuh di dalam hatinya untuk Kara, mungkin karena terlalu sering bersama. Ternyata benar, cinta tumbuh seiring berjalannya waktu.

Nasi goreng selesai di masak dengan aroma yang menyeruak, berlahan Lea memasukkan nasi itu ke dalam rantang stainless yang baru saja ia beli di pasar minggu. Tak lupa ayam goreng kalasan dan kerupuk yang menjadi pelengkapnya.

Irisan timun dan dua tobat di belah tipis menghiasi nasi goreng buatan Lea, dua lembar daun selada membalut di atasnya.

Lea melirik jam dinding sekilas, waktu menunjukkan pukul sebelas kurang. Dirinya berniat mengantarkan makanan ini ke kantor sang mertua untuk sang suami. Mungkin sedikit berbagi untuk mertuanya tidak menjadi masalah?

Lea siap berangkat dengan baju rajut berwarna putih yang di balut rok sepan panjang. Tak dapat di pungkiri bahwa berpenampilan seperti ini membuatnya terlihat lebih dewasa, cantik dan terkesan elegan.

"Aku pergi naik apa, ya?" Kakinya berhenti melangkah saat berada di ambang pintu.

Baru terpikir olehnya, kendaraan apa yang bisa ia naiki. Hanya ada motor besar jaman SMA milik Kara di garasi, jika ia pergi menaiki motor itu...

Lea menggeleng gelengkan kepalanya dengan cepat, "Motor kematian," gumamnya pelan membayangkan ia yang mengendarai motor itu. "Bisa langsung berpulang aku," ujarnya pada diri sendiri.

"Naik angkot aja kali ya?"

***

"Permisi mbak, Pak Kara nya ada?" tanya Lea lembut.

Sara, sekertaris cantik itu tersenyum tipis. "Ada di ruangan Pak Cakra, mbak. Ada keperluan apa ya?"

"Saya hanya ingin bertemu sekalian mengantarkan makan siang," jawab Lea.

Sara melirik rantang stainless yang berada di genggaman Lea, "Maaf mbak, jika ingin bertemu Pak Kara harus membuat janji terlebih dahulu."

"Apa harus begitu?" tanya Lea bingung.

Sara tersenyum, "Memang sudah peraturannya mbak, tidak sembarangan orang bisa sesuka hati untuk menjumpai beliau dan memasuki kantor ini."

Lea mengangguk paham, masih sentiasa berdiri di depan gerbang.

"Sebaiknya mbak buat janji dulu setelah itu kembali lagi kemari." Saran Sara seraya meminum es kelapa muda miliknya.

Perempuan itu baru saja kembali ke kantor setelah mendapat izin untuk keluar dengan alasan es kelapa.

"Pak Muklis," Sara melambaikan tangannya pada pria paruh baya yang di ketahui adalah satpam.

"Iya, mbak. Ada apa?"

"Kenapa gerbangnya ga di jaga, Pak? Gimana kalo ada orang yang masuk sembarangan? Bapak bisa di pecat."

"Saya tadi ke toilet sebentar, Mbak." jawab Satpam itu membuat Sara menghembuskan nafasnya kasar.

"Saya pamit dulu ya mbak, makasih." ucap Lea.

"Tunggu, Mbak." Tahan Muklis, Lea mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Mbak bukannya istri Pak Kara, ya?" Muklis merasa tak asing dengan wajah Lea.

"Istri?!" Kaget Sara menatap Lea dengan pupil mata melebar.

"Iya, Pak, Mbak. Saya istrinya," jawab Lea tersenyum tipis. Sebenarnya kaki Lea sudah cukup pegal berdiri di sini.

"Astaga, maaf Mbak. Saya ga tau, kok Mbak ga bilang dari tadi." Panik Sara, bisa di pecat dia jika ketahuan tidak mengizinkan istri anak bosnya itu.

Sara tau Kara sudah menikah, namun perempuan itu tidak pernah melihat istri dari bos mudanya itu.

"Mbak kan ga ada tanya," kata Lea pelan, tidak salah kan dia? "Tadi mbak bilang harus bikin janji dulu, jadi saya ga maksa masuk karena memang ga ada izin dan ga ada janji."



***



Lea berjalan dengan riang, lengkap dengan rantangan yang ia bawa. Di sebelah perempuan itu ada Sara yang siap mengantarkannya bertemu dengan sang suami.

Banyak pasang mata melihat ke arah Lea, tak selang beberapa lama terdengar suara-suara bisik gosip yang akan segera beredar.

"Sebelah sana, Buk, ruangannya." Sara menunjuk ke arah kanan menggunakan ibu jarinya.

"Panggil mbak, aja. Makasih ya udah nganterin,' ucap Lea setelahnya.

"Sama-sama, Mbak. Saya pamit ada perintah dari Pak Cakra."

Lea mengangguk singkat dan Sara pun berlalu.

Lea menoleh ke kanan dan ke kiri, apa tidak ada yang menjaga khusus di depan pintu ini? Atau biasanya sekertaris yang berdiri di sini? Atau malah satpam seperti yang di depan tadi? Semua pertanyaan itu berlalu lalang memenuhi isi kepalanya.

Tok!

Tok.. Tok!

"Permisi,"

Tidak ada sahutan dari dalam, tangan nya bergerak memutar kenop pintu berlahan dengan pelan.

"Kamu mencintai Karin kan, Kara?"

Pertanyaan dari salah satu yang berada di dalam sana membuat Lea mengurungkan niatnya untuk menyapa mereka.

"Ya, saya memang mencintai Karin Om."

PRAK!!

Rantang stainless di genggaman Lea jatuh berhamburan ke lantai, tubuhnya kaku bahkan lidahnya kelu.

"Lea?" pekik Kara dan Cakra. Hamdan silih berganti menatap ketiganya dengan wajah bingung.

"Maaf, Aku ga sengaja," cicit Lea mengambil kembali bekal yang jatuh, untungnya tidak tumpah dan nasi itu masih utuh di dalamnya.

"Sekali lagi maaf, maaf karena telah mengganggu dan terkesan lancang. Tapi tadi aku udah ketuk pintu, tapi ga ada yang nyaut, ternyata lagi ada pembahasan pribadi yang penting, ya?" Tersenyum sendu, Lea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan bulir bening yang ingin turun.

"Lea, ini cuma kesalah pahaman aja," ujar Cakra lembut lalu menoleh sekilas pada Kara, Cakra memelototi anak semata wayangnya itu yang sembarangan dalam berbicara.

"Aku ga papa kok, Pah. Ke sini cuma mau nganterin ini aja," Mengangkat setengah badan rantang nya. "Aku letak sini ya, Pah?" Lea meletakkannya pada nakas tak jauh dari pintu saat Cakra ingin beranjak dari duduknya.

"Yang kamu dengar ga bener," Kara menghampiri Lea yang meremas erat roknya.

"Ga benar gimana, Kara? Kamu masih mencintai Karin anak Om kan?" Hamdan kembali angkat bicara, membuat gigi Cakra rapat dengan pertanyaan bodoh itu.

"Kamu bisa segera ceraikan dia dan menikah dengan Karin, sesuai perjodohan yang telah kita bicarakan tadi."

Deg

Bagai di hantam ribuan belati yang berhasil membuatnya mati, baru saja ia di bawa terbang setinggi langit tapi sekarang ia kembali terhempas pada bumi yang kejam.

"Perjodohan?" tanya Lea lirih, menatap penuh sendu dan menuntut penjelasan.

"Yang Om Hamdan ucapin ga bener," Kara menggeleng, menggenggam kedua tangan mungil istrinya.

"Lepasin!"

Kara tersentak saat Lea melepas paksa tangan yang ia genggam.

"Aku paham kok, Kak. Pernikahan kita memang hanya sebuah paksaan dari kedua belah pihak, tanpa melibatkan hati dan perasaan." Lea menjeda kalimat nya, mengusap ujung matanya yang mengeluarkan bulir bening. "Sejauh ini Aku memang jatuh cinta sendiri, Aku tau semua tentang Karin dan sebesar apa cinta kamu ke dia."

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now