[11. Lelah]

110 21 1
                                    

"Tenang itu bukan ketika kamu berada di tempat sunyi dengan secangkir kopi dan sebuah buku, ketenangan sebenarnya adalah ketika kamu berhasil membuat suara berisik di kepala mu diam dan mengabaikan suara berbisa yg masuk lewat telinga."

_Wini Akara_



Siang ini di kelas Lea memang jamkos, padahal di kelas lainnya pada belajar, sebentar lagi mereka akan UKK. Lea sungguh mengantuk karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, bahkan Rasya sudah tertidur dengan pulasnya.

Lea bangkit dari duduknya, kakinya melangkah keluar dari kelas. Lea menarik nafasnya dalam saat sampai di depan kelasnya, dari atas sini ia mampu melihat semua yang jauh berada di bawah.

Sebenarnya Lea lebih suka kelas di bawah sebab tak perlu naik turun tangga, tapi baru saja pagi tadi mereka di pindahkan ke kelas ini. Penyebabnya karena atap kelas mereka yang roboh tertimpa dahan pohon, sebelumnya kelas ini memang di kosongkan karena memang terlalu banyak ruang dan beberapa lokal yang sudah tidak terpakai.

Wajahnya yang tampak mengantuk kini berubah cerah, wajahnya berkerut menatap lapangan luas yang berada di bawah sana.

"Kenapa kamu di luar?"

Lea tersentak saat mendengar suara itu tiba-tiba, "Ibuk bikin Lea kaget aja," Mengelus pelan dadanya.

Buk Karma tersenyum mendengarnya, menurutnya Lea ini lucu dan selalu berambisi. "Kamu kenapa di luar? Ini kan jam pelajaran," kata buk Karma berjalan lebih dekat dengan Lea.

"Di kelas Lea ga ada guru buk, tadi minta pelajaran ke pak bon-bon bilangnya ga usah belajar dulu tapi jangan brisik." jelasnya.

"Buk itu anak Ipa¹?"

Buk Karma mengangguk, Dia melipat kedua tangannya bertumpu pada beton pembatas.

"Kenapa mereka kaya ikan asin?" tanya Lea ikut bertumpu.

Buk Karma terkekeh kecil mendengarnya, "Nyolong rambutan pak Eko mereka ini, makanya ibuk hukum." ujarnya,

Lea membulatkan bibirnya berbentuk 'O' "Buk Lea izin ke toilet ya,"

Setelah mendapatkan izin dari buk Karma ia mulai membawa langkahnya pergi menuruni tangga, gadis itu singgah ke koperasi sebentar untuk membeli air mineral.

Lea kembali membawa langkahnya pergi sembari bersenandung kecil, tak letih otaknya berfikir keras sampai ia berada di kamar mandi. "Apa aku les tambahan aja ya?" Mencuci wajahnya di wastafel berharap ngantuk ini kembali pergi, "Kayanya ga cukup kalo cuma dua jam buat waktu les, nilai Lea bisa rendah.."

Lea menatap wajahnya di depan cermin, wajah itu tak tampak seperti biasanya. Matanya yang mulai menghitam akibat kurang tidur, pipinya yang mulai kelihatan tirus menandakan bahwa gadis itu tengah tidak baik-baik saja. Sakit mungkin?

Untuk yang kesekian kalinya Lea meraup wajahnya kasar, ia tertunduk sendu. Tubuhnya terasa lelah terus menerus di paksa bisa melakukan semua hal, Dia udah les privat bahkan akan ada les tambahan. Belajar tanpa henti terus memaksa otaknya untuk bisa mencapai prestasi yang tinggi, tak henti menekan tubuhnya untuk tetap kuat tanpa kenal lelah.

Namun, ia hanyalah manusia biasa yang tau rasanya cape harus bisa melakukan apa yang orang tuanya mau.

"Kenapa setiap hari yang di permasalahin cuma angka? Kenapa ibu sama ayah ga pernah mau liat usaha Lea.." tangisnya lirih,

"Aku mau cerita, aku juga mau di dengar tapi kenapa ga ada yang paham sama situasi itu!!" Memukul dadanya yang terasa sesak, kenapa ya tuhan?!!" Menangisi semua usahanya yang selalu sia-sia di mata Nandra juga Della.

Setelah puas menangis Lea kembali mencuci wajahnya agar kembali terlihat segar, ia menarik nafasnya dalam lalu membuangnya berlahan. Ternyata benar menangis tidak akan menyelesaikan masalah tapi dengan menangis kamu mampu membuat hatimu lebih lega.

Langkahnya keluar dari kamar mandi untuk pergi balik ke kelas, tak lupa membawa sebotol air miliknya yang belum di buka sama sekali. Berlahan langkahnya berhenti saat ingin melewati lagi lapangan itu, matanya mengamati cowo bertopi hitam yang terus mengeluarkan suara tegasnya.

"Galak," cibir Lea, "Marah-marah mulu, darah tinggi tau rasa," sarkasnya. Bukannya kembali ke kelas ia malah berdiri diam tak jauh dari lapangan.

"KAK KARA!!" pekiknya kuat, entah keberanian dari mana ia melakukannya. Lea tersenyum melihat Kara yang datang menghampirinya,

"Dari mana Lo?" tanya laki-laki itu membuka topinya lalu menyugar rambutnya yang basah karena keringat ke belakang.

"Dari kamar mandi," jawab Lea matanya tak beralih sedikit pun dari wajah tampan Kara. Sial, ini kaya cowo-cowo fiksi Lea, batinnya terpekik senang.

"Ngedip,

Secepat kilat Lea membuang pandangannya ke arah lain, malu sekali pikir Lea.

"Ngapain Lo manggil gue?" Mata Kara melirik sebotol air putih yang berada di genggaman Lea, tenggorokannya terasa kering karena terlalu lama berdiri di bawah matahari.

"Oh ini, Lea mau balikin cincin kamu," Merogoh saku roknya lalu memberikan cincin itu kepada Kara,

"Lo kenapa? Habis nangis?" Meneliti wajah Lea yang tampak sembab.

"Ga usah kepo, pamit ya, makasih." Pergi berlalu meninggalkan Kara,

"Kok bisa ada di dia?" Katanya pelan menatap lingkaran hitam di genggamannya.

Sebelumnya Kara berfikir cewe itu ingin memberikannya air seperti cewe cewe di dalam novel milik Arion yang semalam ia baca, tapi ternyata? Ah sudahlah ternyata harapannya yang terlalu besar.

~❤️~

Waktu menunjukkan pukul enam sore, langit sudah menggelap menandakan hari mulai malam. Gadis manis itu menarik nafasnya dalam lalu membuangnya berlahan, bibirnya terangkat naik mengukir senyum tipis saat  berhasil memecahkan rumus-rumus sulit yang di berikan guru lesnya.

Ini sebuah kebahagiaan baginya, mungkin menurut orang lain hal ini terlalu biasa, tapi bagi Lea itu sebuah pencapaian baru baginya. Dia membawa langkahnya keluar dari gerbang tempat di mana ia les, pulang sekolah tadi pukul dua dan Lea belum pulang sama sekali ke rumah. Ia langsung pergi les privat di antar oleh Rasya, setelah menyelesaikan lesnya selama dua jam gadis itu kembali pergi untuk les tambahan.

Kenapa tidak les satu tempat saja dengan mengambil waktu lima jam? Penyebabnya karena les yang telah Lea pilih telah memiliki jadwal dan waktu yang begitu terbatas.

Kakinya yang letih terus melangkah untuk pulang, badannya yang lelah sama sekali belum di istirahatkan. Di sela langkah kecilnya ia berfikir bagaimana caranya ia mencari uang untuk membayar biaya sekolah juga lesnya,

"Lea cari kerja dimana ya.." ujarnya pada diri sendiri, rasanya ia ingin meminta tolong kepada Rasya untuk membantunya mencari pekerjaan yang bisa masuk malam. Tapi.. ia sudah terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu,

Helaan nafas lelah kembali terhembus untuk yang kesekian kalinya, kaki lunglainya terus menelusuri jalan sepi yang hanya di lewati beberapa kendaraan bermotor. Matanya menerawang jauh jalan yang luas, menatap penuh kekosongan ke depan.

Rumahnya masih terlalu jauh untuk ia datangi, rumahnya masih terlalu sepi untuk ia singgahi, rumahnya terlalu kosong untuk di jadikan tempat berpulang. Kemana ia harus pergi? Rumah yang ia pikir tempat ternyaman hanyalah mimpi belaka, tidak ada kehangatan di dalam sana, tidak ada tawa bahkan kata bahagia melenceng jauh dari keluarganya juga hidupnya.

Tinn..

Tin..

Suara klakson motor memecahkan lamunan Lea, badannya berbalik guna melihat siapa yang berhenti di dekatnya. Matanya menyipit menatap seseorang yang mengenakan helm dengan motor sport berwarna biru. Tak lupa jaket kulit yang terpasang di badannya,

NEXT? Plies jangan jadi silent reader,

TOLONG HARGAI JANGAN CUMA DATANG, BACA DAN PERGI.

Sebelumnya terimakasih, salam manis dari Buna ❤️

Luka Untuk Lea || On Going Where stories live. Discover now