[23. Menginginkan keluarga lengkap]

73 12 0
                                    

Wanita itu tertawa terbahak-bahak, sementara Kara menunjukkan wajah masam nya.

Menceritakan nasib sial yang ia alami sebelum sampai kemari mengundang gelak tawa dari perempuan anggun di depannya.

"Siapa yang memberi mu alamat itu?" tanya Mira usai meredakan tawanya.

Setelah menghabiskan tenaga cukup banyak akhirnya Kara sampai ke rumah Mira-ibunya. Jangan tanyakan soal penampilan, baju yang kotor, dan di penuhi peluh!

"Papah yang memberinya, Mah. Aska udah cari Mamah lebih dari lima bulan, tapi kenapa Mamah ga pernah cari tau keberadaan Aska?"

Lidah Mira seakan kelu untuk menjawab, ia tersenyum tipis, mengusap pelan punggung tangan sang putra sebentar.

"Mamah sudah mencari mu, Aska. Tapi awak media seakan menelan mu habis, Mamah tak menemukan informasi apapun."

Alis Kara bertaut, tak menemukan informasi tentang nya? Seingat Kara ia tidak pernah menyembunyikan indentitas.

"Ga kebalik, Mah? Mamah yang seakan menghilang dari bumi, lima bulan bukan waktu yang singkat untuk mencari informasi."

Kali ini Mira yang menautkan alisnya, merasa sedikit kejanggalan dalam hidup masing-masing. Sebenarnya siapa yang menutup diri?

***

Tak ingin ambil pusing, Kara lebih memilih menikmati masakan sang ibu yang telah lama tidak ia rasakan. Nasi goreng yang di temani telur sedikit gosong sudah menjadi kesukaannya sejak dini. Tersungging senyum tipis di bibirnya, ternyata ibunya tak lupa dengan makanan kesukaan Kara.

Bibir Mira terangkat melihat putranya makan dengan lahap, pemandangan ini telah lama tak ia lihat.

Mira menghembuskan nafasnya panjang, bukannya semua kesalahan itu ada padanya? Meninggalkan suami dan anak semata wayang yang ia miliki. Membiarkan Cakra membesarkannya seorang diri, sungguh, ia bukanlah ibu yang baik.

Mira tersentak saat merasakan sapuan lembut pada punggung tangannya,

"Jangan memikirkan sesuatu yang membuat mu sedih, Mah."

Kara dapat melihat tatapan sendu dari mata yang telah mengeluarkan air pada ujungnya, ia benci melihat wanita yang begitu ia cintai menangis.

Tangannya terulur mengusap pelan sudut mata Mira, Kara tak perduli seburuk apa ibunya karena telah tega meninggalkan dirinya. Yang pemuda itu tahu, wanita yang tengah menangis di hadapannya adalah malaikat tak bersayap yang membawanya ke dunia ini.

"Papah masih sayang sama Mamah,"

Tubuh Mira seketika membeku mendengarnya, apa ia tak salah dengar? Seharusnya laki-laki itu membencinya, dan Mira pikir Cakra sudah menikah lagi.

"Mamah pasti ga percaya, kan?" tanya Kara terkekeh kecil, "Papah sering nangis sambil meluk foto Mamah, cengeng, kan? Tapi Papah selalu menutupinya." lanjut Kara, memasukkan sesuap terakhir nasi gorengnya.

Kara kembali beralih menatap Mira setelah meneguk segelas air putih yang di letakkan sepotong lemon di dalamnya, "Kenapa Mamah nikah lagi? Apa laki-laki itu lebih kaya dari Papah? Atau lebih tampan?" ujarnya cukup tenang, sedikit demi sedikit ia harus tau penyebabnya.

Mira menunduk, seakan ia bisu untuk menjawab.

"Maaf," Hanya itu yang mampu Mira katakan. Tidak, bukan itu yang ingin Kara dengar.

Tiba-tiba terlintas suatu pertanyaan yang begitu membuatnya penasaran, seorang laki-laki yang terekam bersama mamahnya itu siapa?

"Anak laki-laki itu siapa, Mah? Apa dia anak mu bersama pria itu?"



~🌻~



Beberapa kali sudah Pria itu melirik arloji yang melingkar di tangannya, hembusan nafas kasar kembali terdengar, apa yang di nanti tak kunjung tiba, apa yang di tunggu tak juga pulang.

Terdengar suara motor memasuki kawasan rumahnya, kaki itu melangkah menuju daun pintu lalu memutar handlenya.

Dirinya mendapati sang putra dengan keadaan lusuh, hampir saja hilang kesan tampan dari sana.

"Habis mulung?"

Kara memperengut masam, bukannya di khawatirin malah di katain.

"Di ajak masuk dulu napa sih, Pah!" dengkusnya,

Cakra menepi, membiarkan Kara berlalu masuk.

"Eeh, mandi dulu sana, kotor nanti sofanya!" sarkas Cakra melihat Kara yang hendak menghempaskan tubuhnya pada sofa berwarna white.

Lagi-lagi pemuda itu mendengkus, berjalan dengan kesal menaiki tangga. Cakra membereskan laptop, koran beserta dokumen yang berada di atas meja. Seharusnya hari ini ia lembur, namun, rasa penasaran di dalam hati membuat niat itu urung. Kaki jenjangnya mulai menaiki satu-persatu anak tangga demi sampai menuju kamar Kara.

Paruh baya itu langsung masuk tanpa meminta izin, pintu kamar yang jarang di kunci memudahkannya untuk menyelonong.

Terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi, bisa di simpulkan jika putarannya itu tengah memandikan tubuh yang sudah mirip dengan gumpalan tanah.

Sebenarnya tidak seburuk itu, Cakra hanya mengada-ada.

Cklek!

Cakra bersandar pada dinding sambil memperhatikan anaknya, "Bagaimana Mamah mu?"

Kara mengacak-acak rambutnya yang basah lalu menyugarnya kebelakang, "Mamah bilang kangen sama Papah," Berjalan menuju almari pakaian dengan celana bokser yang ia kenakan.

Cakra memutar bola matanya malas, "Pintar sekali kamu mengarang," Menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur. Kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan.

"Aku tadi bilang sama Mamah kalo Papah-" Kara menjeda ucapannya membuat Cakra menenggakkan tubuhnya.

"Papah apa?!"

"Papah masih sayang sama Mamah,"

Cakra mengusap wajahnya kasar, sial, ia lupa berpesan pada foto copynya ini. Seharusnya putranya itu tak membocorkan apapun, runtuh sudah harga dirinya. Mengaku masih menyimpan perasaan pada masa lalu.

Pria itu memijat pelipisnya singkat, "Kenapa kamu mengatakannya?" Menatap Kara yang bersandar pada pintu.

Tampak ia terkekeh kecil dengan bersedekap dada,

"Mana tau Mamah mau rujuk,"

Cakra terpaku, ia berharap demikian, tapi hal tersebut sama saja seperti mengharap langit memeluk bumi, mustahil.

"Kamu mengharapkan keluarga lengkap?" celetuk Cakra,

Kara mengangguk antusias sembari tersenyum simpul, senyum yang terlihat polos di mata Cakra. Seakan ia tertarik memasuki masa lalu, Cakra mengerjabkan beberapa kali matanya saat melihat Kara yang berdiri di belakang pintu dengan pesawat mainan. Kara? Mengapa ia kembali menjadi anak kecil?

Cakra mengucek matanya dengan cepat, kembali menghadap pintu tempat Kara berdiri.

Damn! Sekarang malah berganti dengan Mira yang membawa sepiring nasi goreng. Di ikuti Kara kecil yang bersembunyi di belakang punggung ibunya, sesekali bocah itu mengintip ke arah Cakra lalu setelahnya tertawa. Berulang kali Kara kecil melakukannya.

"Pah, Pah! Papah!!"

Cakra tersentak saat merasakan tubuhnya di guncang dengan kuat, "Papah ga kesurupan, kan?"

"Hah?" Mendadak Cakra linglung, menatap Kara dari atas sampai bawah. Mengulanginya beberapa kali sampai membuat Kara memundurkan langkahnya.

Cakra berdiri, berjalan mendekati Kara. Mengelilingi tubuh itu dengan tatapan intens,

"Jangan-jangan Papah kerasukan setan!" gumamnya, matanya bergerak liar menatap setiap sudut kamar.

"Ka-kamu siapa?" Kara mengambil ancang-ancang untuk kabur. Ia tidak mau berhadapan dengan setan.

Cakra mengentikan langkahnya, matanya menyipit sebentar.

"Bibi! Papah kesurupan!!!"

Luka Untuk Lea || On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang