Chapter 55 : Pelayaran dimulai

26 3 1
                                    

Pukul 17.00

Sekitar 4 kilometer dari kota Altisse, di daerah barat daya pulau tempat negara Liberlaville berdiri. Di sana ada sebuah dermaga yang tidak terjamah, daerah itu masih masuk ke distrik kelas bawah. Hanya saja tempat itu tidak lagi terlihat rumah penduduk. Dan untungnya saja, hujan telah berhenti di daerah kawasan ini. Malahan, langit biru yang mempesona memperlihatkan sosoknya di daerah ini.

Seratus meter setelah melewati daerah kependudukan kota Altisse terdapat hutan mangrove yang begitu lebat. Hutan mangrove itu seperti kumpulan semak belukar di pojokan taman yang tidak terurus.

Meskipun hutan mangrove itu begitu lebat, di bagian tengah, di antara hutan itu terdapat ruang kosong. Ruang kosong itu bukanlah tanpa alasan. Dibagian tengah hutan itu ada sungai kecil yang menjadi jalur air laut untuk kanal-kanal yang memenuhi kota Altisse.

"Jika kita melewati hutan Mangrove ini, kita akan sampai ke dermaga terbengkalai, aku tidak tahu pastinya, tapi menurut ku luas hutan ini kira-kira tiga puluh kilometer persegi?" kata Ricky menjelaskan.

"Aku tak terbiasa lewat sini..." ucap Hadi.

Ricky, Hadi, Ayleen, Sylvia Armaya, Reeva, Natasha, dan Austin. Para murid yang mengikuti misi ini melihat ke arah hutan mangrove yang lebat yang terpampang di depan mereka. Mereka tidak sendiri, ada empat orang dewasa yang menemani mereka seperti Jin, Isabella, Veronica, dan Fern. Empat profesor besar akademi Agnihostra.

"Kita tidak boleh membuang waktu lagi. Ayo kita segera pergi ke dermaga itu! Ricky, Hadi, kalian berdua nampaknya tahu seluk-beluk hutan ini, kalian berdua jalan di depan pandu kami." kata Jin menginstruksikan sebelum ia memberikan instruksi tambahan kepada dua murid bimbingannya.

Ricky dan Hadi mengangguk, mereka mulai berjalan memasuki hutan mangrove. Walau harus melewati hutan lebat, ntungnya ada pemandu yang begitu mengenal seluk beluk hutan ini.

Meskipun begitu, melewati hutan lebat bukanlah perkara yang mudah. Tanah tempat mereka berpijak merupakan tanah basah, atau bisa dibilang tanah berlumpur. Hal ini wajar mengingat jarak hutan mangrove ini yang begitu dekat dengan daerah pesisir.

Selama beberapa jam mereka berjalan di tanah berlumpur ini, menyusuri hutan mangrove yang lebat. Sepatu yang mereka kenakan telah dipenuhi dengan lumpur, hingga membuat celana bagian bawah mereka sedikit kotor. Untung saja hal ini tidaklah sia-sia, mereka akhirnya bisa mencium bau khas laut serta angin sepoi-sepoi dapat mereka rasakan membelai kulit mereka. Menandakan mereka telah dekat dengan daerah pesisir.

"Aku dapat melihat deretan pohon kelapa." kata Austin, memfokuskan pandangannya.

Sekitar 10 meter di depan mereka, ada deretan pohon kelapa yang menari-nari saat tertiup angin. Ujung dari hutan mangrove yang mereka lewati telah terlihat. Semua orang, seketika mempercepat langkah mereka.

Saat mereka berada di ujung hutan mangrove, tanah berlumpur telah berubah menjadi tanah berpasir. Meskipun pasir itu masih basah, setidaknya ini lebih baik daripada tanah lumpur yang mereka lewati sebelumnya.

Saat sampai di daerah pesisir, tepat di hadapan mereka, ada lautan luas sejauh mata memandang. Sama seperti hutan mangrove yang terdapat ruang kosong, daerah pesisir ini juga ada daerah kosong, tempat sungai kecil yang menjadi jalur penghubung ke kanal yang mengelilingi kota Altisse. Pemandangan daerah pesisir yang terdapat sungai kecil ini, membuat daerah pesisir ini nampak seperti terbelah.

Daerah pesisir di hias dengan deretan pohon kelapa yang berjejer tidak jauh dari jalan masuk hutan mangrove. Bukan hanya itu, daerah pesisir ini juga terdapat kawasan penduduk, meskipun bukan diisi dengan gedung pencakar langit dan rumah modern yang ada di zaman sekarang.

Let The Universe Tell Où les histoires vivent. Découvrez maintenant