1 - Hati-hati

252 63 15
                                    

.

.

"Hati-hati di rumah sendirian. Tunggu Kakak datang."

.

.

***

Erika berlari di koridor rumah sakit. Berpelukan dengan ibunya yang sedang duduk di luar ruang jenazah.

Tubuh ibunya yang renta, terasa ringkih saat dirangkul. Kedua wanita itu menangis.

"Bapakmu meninggal saat berusaha dipacu jantungnya. Mereka bilang, sudah terlambat saat dibawa kemari. I-Ibu kira, waktu Bapakmu sedang di kamar, dia sedang tidur. Ibu kira -- ma-af. Ma-af! Ini salah Ibu!"

"Enggak, Bu! Gak ada yang nyalahin Ibu! Gak ada!" seru Erika seraya mengeratkan rangkulannya.

Yulia mengangguk, dengan air mata makin deras.

Tak lama, keduanya masuk ke dalam ruang jenazah. Erika menciumi kening dan tangan almarhum Bapaknya. Air mata Erika menetes ke pipi pria tua kesayangannya yang kini terbujur kaku. Wajahnya seperti sedang tidur saja.

"Bapakmu bilang, dia bermimpi semalam. Mimpi yang sama dengan mimpi yang dulu pernah dia lihat waktu Yunan masih remaja. Dulu kalian pernah main ke rumah kami, waktu lebaran. Kamu ingat? Waktu itu, Bapakmu tertidur di bahu Yunan," kata Yulia sembari mengusap air mata.

Erika mengangguk, menggigit bibir, mencegah dirinya menangis histeris.

"Dalam mimpinya, Bapakmu duduk di pendopo, di atas awan, bersama orang tua kandung Yunan dan seorang kakek berjanggut putih. Pria tua itu berterima kasih pada Bapak, karena telah memperlakukan Yunan layaknya cucu kandung sendiri. Lalu Bapakmu disuguhi makanan dan minuman yang enak-enak. Mimpi itu terulang, persis sama, semalam. Bapakmu bahagia sekali. Dia jadi kangen Yunan katanya. Ibu bilang padanya, telepon saja Yunan kalau kangen. Tapi dia bilang tidak usah. Yunan pasti sibuk sekarang. Biarkan Yunan melayani umat Nabi Muhammad, kata Bapakmu. Dia sudah merasa lebih dari cukup, dengan ditakdirkan Allah menjadi kakek angkat Yunan. Sebuah kehormatan untuknya, katanya."

Kedua wanita itu menangis lagi.

"Raesha sudah kuminta untuk memberi tahu Yunan. Yunan mungkin akan tiba malam ini di rumah duka," ucap Erika.

Yulia mengangguk lesu, sebelum mengelus wajah suaminya yang baru tiada.

"Aneh sekali rasanya. Kami berdua dekat sekali. Dekat sekali, sampai-sampai Ibu merasa Allah menugaskan Ibu, salah satunya adalah untuk mendampingi hidup Bapakmu. Lalu sekarang Bapakmu sudah tidak ada di dunia. Lantas, Ibu jadi bingung, apa yang sedang Ibu lakukan di sini?" ucap Yulia dengan suara gemetar.

Erika kembali merangkul ibunya. "Jangan bilang gitu, Bu! Masih ada aku! Masih ada cucu-cucu Ibu! Cicit-cicit Ibu!" jerit Erika dengan tangis terburai.

Yulia hanya mengangguk lemah beberapa kali.

Pintu ruang jenazah mendadak terbuka.

"Ibu?" ucap seorang pria muda tampan yang perawakannya sangat mirip dengan Yoga Pratama.

"Adli!!" seru Erika bangkit dari duduknya dan memeluk Adli erat.

"Maaf aku lama. Tadi sekertarisku baru bilang setelah aku selesai rapat," jelas Adli.

Adli berganti memeluk Mbah putrinya.

"Gak apa-apa, sayang. Mustinya kamu tunggu di rumah Mbah aja," kata Erika.

"Gak apa-apa. Aku mau nemenin Ibu, jadi aku ke sini. Haya dan Elaine kusuruh langsung ke rumah Mbah aja. Katanya mereka sudah di sana. Ada tetangga dan orang masjid yang siap-siap menyambut kedatangan Mbah kakung," mata Adli berair saat mengatakannya. Orang-orang bersiap menyambut kedatangan Mbahnya yang tanpa nyawa. Disangkanya, serangan jantung kali ini akan seperti yang sudah-sudah. Mbah disangka akan kembali sehat seperti sedia kala. Ternyata, --

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now