60 - Niat

186 49 19
                                    

.

.

Yang niat ingin membunuh, siapa?
Yang dituduh, siapa?

.

.

***

"Kedatangan Saudara Yunan secara mendadak ke rumah anda, agak mencurigakan, bukan?"

Pertanyaan Theo membuat Raesha nampak bingung. Yunan, Rizal dan Elena yang berada di ruang sidang yang sama, juga nampak bingung.

"Maksud anda?" balas Raesha dengan kernyitan di dahinya.

"Dari yang anda ceritakan tadi, saya tidak mendengar anda mengirim pesan yang isinya meminta kakak anda datang. Yang anda ceritakan adalah, anda berusaha menghubungi kakak anda, tapi nomornya tidak aktif. Lalu anda berusaha menelepon nomor keluarga anda yang lain, tapi semuanya tidak mengangkat sebab sedang sibuk di rumah duka, sebab saat itu kedua Mbah anda meninggal dunia bersamaan. Normalnya, kakak anda semestinya langsung ke rumah duka dari bandara. Tapi dia malah ke rumah anda. Padahal keluarga anda sudah tahu bahwa anda masih menunggu kedua putra anda pulang dari field trip, sebelum kalian nantinya akan menyusul ke rumah duka. Lalu, kenapa kakak anda malah ke rumah anda alih-alih ke rumah duka?"

"Anda salah. Kakak saya ke rumah duka terlebih dulu, lalu ketika tahu bahwa saya dan anak-anak saya belum ada di rumah duka, kakak saya berinisiatif untuk menjemput saya dan anak-anak," sahut Raesha.

"Apa yang mendasari kakak anda untuk menjemput anda dan anak-anak? Kenapa dia tidak menunggu di rumah duka, seperti anggota keluarga anda yang lain?" tanya Theo lagi, terdengar seperti sedang mencecar Raesha.

"Untuk jawaban pastinya, anda harus menanyakan itu pada kakak saya. Tapi dugaan saya pribadi, kakak saya mengkhawatirkan saya yang saat itu tidak bisa dihubungi. Ponsel saya mati kehabisan daya, dan saat itu saya sedang diteror klien anda," tukas Raesha dengan mimik kesal.

Theo melengos dengan bibir tersenyum meledek. "Baiklah. Kembali ke kronologis kejadian. Kedatangan kakak anda yang bagai pahlawan, bukanlah akhir dari kejadian malam itu. Apa yang terjadi saat Saudara Yunan dan klien saya berkelahi di lantai? Siapa yang lebih unggul di antara mereka?"

Raesha nampak gamang sebelum menjawab, "saya agak khawatir saat itu, karena kakak saya terlihat mulai kepayahan mengimbangi terdakwa."

Hening sesaat. Jemari Raesha saling remas, ia tahu ke mana sesi pertanyaan ini mengarah.

"Lalu, anda berpikir harus membantu kakak anda, bukan begitu? Dengan apa anda berusaha melawan klien saya?" desak Theo.

"S-Saya membuka-buka laci. Mencari benda apa yang bisa dipakai untuk membantu kakak saya melawan terdakwa. Tapi tidak menemukan apapun kecuali ... sebotol cairan racun," jawab Raesha dengan pandangan tertunduk ke pangkuannya sendiri.

"Racun apa tepatnya?" tanya Theo lagi. Senyumnya tersungging tipis seolah menikmati kegugupan Raesha.

"R-Racun ... arsenik," jawab Raesha berusaha meredam getaran pada suaranya.

Orang-orang nampak terkejut. Pastinya pemirsa siaran langsung sidang, semua juga terkejut. Kenapa racun arsenik bisa ada di laci kamar Ustadzah Raesha?

"Bisa anda jelaskan? Kenapa racun itu bisa ada di laci kamar anda, Saudari Raesha?" tanya Theo dengan senyum kemenangan.

Raesha diam. Wanita itu menelan ludah. Ekor matanya melirik Yunan. Kakak angkatnya itu menggeleng pelan. Raesha memahami isyarat itu adalah pertanda bahwa Yunan menyuruhnya bungkam. Tidak perlu menjelaskan tentang dendamnya saat itu pada Sobri. Sebab itu sama saja dengan membuka aibnya sendiri. Bagaimana seorang ustadzah pernah menyimpan dendam pada pembunuh suaminya?

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now