52 - Sadar

175 53 21
                                    

.

.

Maka sejatinya orang yang ditakdir mengerjakan amalan buruk itulah, yang pantas dikasihani.

.

.

***

Perlahan kelopak mata Rizal terbuka. Ia menemukan dirinya di ruangan yang belum pernah dilihatnya. Seperti ada aroma rumah sakit, tapi ...

Rizal mengerang saat menyadari tubuhnya diikat di atas ranjang pasien.

"Zal?? Kamu sudah sadar??" seru Elena yang langsung bangkit dari kursinya dan menghampiri Rizal.

"Hahh?? Rizal sudah sadar?" gumam Nilam yang jadi terbangun setelah sempat tertidur di samping Rizal.

"Kenapa aku di--," kata Rizal hendak bertanya kenapa dirinya diikat, tapi otaknya mulai berpikir jernih. Dia ingat bahwa kesadarannya sempat diambil alih.

Elena dengan sigap menekan tombol di dekat meja nakas. Tombol darurat untuk memanggil perawat.

"Gimana perasaanmu, Nak?" tanya Nilam sambil mengusap kepala putra bungsunya.

"Aku ... baik-baik aja, Bu. Cuman badanku agak lemas. Kepalaku agak pusing," jawab Rizal dengan suara lirih.

Nilam merapatkan bibir, sebelum wanita itu menitikkan air mata. Mendengar Rizal berkomunikasi dengannya dengan normal, terasa mengharukan.

"Kenapa, Bu?" tanya Rizal heran melihat ibunya menangis.

"Gak apa-apa, Nak. Ibu takut. Ibu pikir, Ibu sudah kehilangan kamu," ucap Nilam sambil menggenggam tangan Rizal.

"Jangan nangis, Bu. Aku gak apa-apa," Rizal membalas genggaman ibunya.

Elena tersenyum melihat kehangatan drama keluarga di hadapannya. "Sabar, Zal. Sebentar lagi kamu akan pulang, insya Allah," kata wanita itu.

Rizal menoleh ke arah rekan kerjanya. Kenapa Elena sampai menungguinya di sini? Sejak kapan Elena menjenguknya? Memangnya Elena izin dari kantor demi menjenguk dirinya?

Perawat wanita datang. "Oh? Pak Rizal sudah sadar?" tanya wanita itu.

"Iya, Suster. Tolong kasih tahu Dokter!" sahut Elena dengan nada riang pada suaranya.

"Baik, Bu!" kata suster itu sebelum berlari di koridor mencari dokter yang menangani Rizal.

Romi muncul, masuk melalui pintu ruang isolasi. "Kamu sudah sadar, Zal?" tanya Romi bergegas menghampiri adiknya.

"Kak Romi?" panggil Rizal masih dengan suara lemas.

"Gimana? Kamu sudah normal belum? Satu tambah satu berapa?" tanya Romi sambil mengacungkan dua telunjuknya.

Rizal bengong dengan alis mengernyit. Elena menatap Romi dengan ekspresi malas dan melipat tangan.

"Kakak bercanda?" tanya Rizal serius.

Nilam tertawa. Tawa pertama setelah stress beberapa hari ini melihat kondisi Rizal.

Pintu ruangan terbuka. Kali ini, Yunan muncul di muka pintu. Dia baru saja makan malam di kantin rumah sakit bersama Romi. Tapi Romi langsung berlari ketika mendengar dari perawat bahwa Rizal sudah siuman dari pingsannya. Hal yang biasa terjadi pada orang yang baru lepas dari kesurupan, katanya. Energi mereka seolah terhisap hingga lemas dan terkadang sampai pingsan.

"S-Syeikh! Syeikh ... Yunan!" jerit Rizal ketika melihat sosok Yunan memasuki ruangan. Suaranya gemetar dan pria itu menangis tanpa bisa ditahannya. Dia malu dilihat Elena dalam keadaan menangis sebenarnya, tapi apalah daya, melihat wajah Yunan membuat dia tak sanggup menahan luapan perasaan haru memenuhi kalbunya.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang