62 - Bohong

179 46 7
                                    

.

.

Apakah kebohongan bisa mencegah remuknya hati, atau hanya menunda kehancurannya?

.

.

***

Pintu ruang kerja Adli diketuk. Adli yang sedang membaca surel di layar laptop, sebelum menolehkan pandangannya ke arah pintu.

"Pak Adli, ini saya, Pak. Laras," kata suara wanita di luar pintu.

"Ya, Laras. Masuklah," sahut Adli.

Pintu terbuka dan Laras memasuki ruangan. Wanita itu nampak anggun dengan rompi hitam longgar di luar, dalaman kemeja putih lengan panjang, serta rok plisket dan jilbab sewarna.

"A-Anu, Pak. Apa Bapak sempat melihat siaran live sidang kasus yang menimpa keluarga Bapak?" tanya Laras dengan sikap hati-hati.

Alis Adli berkerut. Nonton siaran live -- mana dia sempat?

"M-Maksud saya, pas jam makan siang tadi, Pak. Soalnya, saya tadi lihat di kantin, dari aplikasi di hape saya. Nama Bapak disebut beberapa kali, di sidang hari ini," jelas Laras, khawatir bosnya salah paham mengira dirinya menonton siaran televisi di jam kerja.

"Oh ya? Belum. Saya belum lihat. Oke nanti akan saya tonton siaran ulangnya. Wajar kalau nama saya disebut-sebut. Karena saya memang terlibat dalam kasus kakak saya," sahut Adli santai.

"Eh?" ceplos Laras sembari menutup bibir. Terlibat? Gimana? Bosnya terlibat kasus yang menimpa kakaknya?

"Sepertinya saya perlu meluangkan waktu untuk menghadiri sidang itu. Tolong bantu saya, Laras. Saya akan hubungi kuasa hukum saya, mengecek jadwal sidang. Kita akan perlu re-schedule jadwal saya," kata Adli sebelum menutup laptop dan mencari secarik kertas serta pulpen, persiapan untuk bicara pada Elena sesaat lagi.

"Baik, Pak," ujar Laras sebelum pamit dari ruangan bosnya, memberi ruang untuk Adli menghubungi seseorang melalui ponsel.

.

.

Elena melihat ke luar kaca mobil. Di sampingnya, Rizal sedang menyetir. Rizal diam-diam curi pandang ke arah rekan kerjanya yang cantik. Mereka sedang menuju kantor. Padahal biasanya Elena dan Rizal ke pengadilan dengan kendaraan masing-masing, tapi pagi ini Rizal heran melihat ibunya demikian ngotot menyuruhnya untuk antar jemput Elena saja hari ini.

Kata Nilam, wanita paruh baya itu tadi pagi, "Sana chat Elena! Mumpung dia belum berangkat ke pengadilan! Toh kalian memang mau ke pengadilan, 'kan? Bareng aja sekalian! Dari pada berangkat sendiri-sendiri! Boros bensin!"

"Kok gitu? Nanti Elena pulang ke rumahnya gimana?" Rizal merespon ibunya dengan pertanyaan.

"Ya kamu anter dia pulang, dong! Masa' kamu biarin wanita pulang sendirian naik angkot malem-malem!"

Rizal bengong mendengarnya.

"Sekalian kamu bertamu ke rumahnya Elena. Kenalan sama ibunya. Masa' cuman dia yang kenal sama ibumu. Kamunya gak kenal sama ibunya Elena?"

"Ibunya Elena sudah meninggal, Bu," sahut Rizal.

Air muka Nilam berubah. "Oh ... ibunya Elena sudah meninggal?" tanya Nilam.

"Iya. Elena pernah cerita."

Ekspresi iba nampak jelas di wajah Nilam. "Kalo gitu, kamu kenalan sama Bapaknya Elena!" ujar Nilam semangat.

Rizal melengos. "Ibu ini ada-ada aja. Kalau aku mampir ke rumah Elena dan kenalan sama Bapaknya Elena segala, nanti bisa-bisa bapaknya Elena salah paham. Beliau bisa mengira aku calon suami Elena!"

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now