22 - Biarkan

180 54 11
                                    

.

.

"Biarkan saja.

Mereka dengan niat dan usaha mereka. Kita dengan niat dan usaha kita.

Yang terjadi, tetap adalah takdir Allah."

.

.

***

Elena ternganga saat tiba di depan teras lobi kediaman keluarga Danadyaksa. Ini rumah atau istana? batinnya. Lantas, kenapa pula pelayan berjejer mengapit akses masuk utama? Bukan untuk menyambut dirinya, 'kan?

Seorang pria berusia tiga puluhan, menghampiri mobil Toyota RAIZE GR Sport kuning milik Elena, dengan senyum mengembang.

Elena membuka kaca depan mobilnya dan membalas senyum pria berseragam itu yang ditebaknya sebagai seorang butler.

"Selamat pagi," sapa Elena.

"Selamat pagi, Bu Elena!" balas Prama dengan wajah berseri-seri.

"Kok tahu kalau saya Elena?" tanya Elena dengan tampang bingung.

"Tadi penjaga di gerbang depan sudah info ke saya," jelas Prama.

"Ooh. Oke. Anu, saya parkir di mana, ya?" tanya Elena nyengir. Tempat parkir luas tak terkira. Saking luasnya, sampai-sampai Elena takut salah tempat parkir.

"Anda bisa serahkan kunci mobilnya, Bu Elena. Biar supir kami yang parkirkan," ucap Prama sopan.

"Ooh oke oke," sahut Elena manggut-manggut. Vallet parking ternyata, batinnya.

Setelah turun dari mobil dan menyerahkan kunci, Elena berdiri terbengong-bengong melihat akses pintu masuk rumah dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi. Dia jadi merasa seperti berada di museum atau gedung bersejarah bergaya klasik.

"Silakan masuk, Bu Elena. Anda sudah ditunggu," kata Prama membungkukkan tubuhnya dengan tangan mengarah ke pintu depan berdaun ganda yang terbuka lebar.

Elena mengangguk dua kali, masih sambil mengagumi tiap sudut rumah yang menawan. Bahkan bunga-bunga mawar di taman, terlihat sangat cantik, mempercantik rumah megah ini.

Masya Allah, Adli! Nenek moyangmu gimana ceritanya bisa membangun rumah gedong segede ini??

.

.

"Elena!" seru Adli yang otomatis berdiri dari kursi makan, saat melihat tamunya datang diantar Prama. Elena masih cantik seperti dulu waktu SMU. Sekarang, aura wanita karir sangat terpancar dari dirinya.

"Assalamu'alaikum!" sapa Elena yang nampak modis dengan jas dan celana panjang hitam dengan aksen dua kancing dan garis setengah melengkung di bagian kerahnya, serta kerudung menutupi leher berwarna ivory dengan motif marmer cokelat yang memberi kesan berkelas.

"Wa'alaikum salam!" sahut semua orang yang memang sudah berkumpul di ruang makan. Yunan, Raesha dan Adli, bahkan sengaja mandi lebih awal pagi ini, supaya mereka bisa langsung berdiskusi dengan Elena. 

Elena berjabat tangan dengan Adli.

Elaine diam membeku di kursinya, saat itu terjadi. Hatinya serasa dicubit pedih. Bertahun-tahun mengenal Adli, tak pernah tangan mereka bersentuhan sedikitpun. Elaine tahu kalau Adli masih belum bisa tidak bersalaman dengan yang bukan mahram. Sulit, terutama bagi seorang pengusaha yang klien dan rekan kerjanya beragam latar belakang. Orang yang berkecimpung di dunia perkantoran, akan memandang orang-orang yang memegang syari'at, sebagai orang-orang yang aneh. Sungguh Adli kagum pada Yoga yang dulu bersikukuh tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, sepulang dari suluknya. Dicerca banyak orang? Pastinya. Tapi Yoga tetap pada pendiriannya. Sayangnya, Adli belum sekuat Yoga.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now