54 - Letusan

192 50 22
                                    

.

.

Aku menepati janjiku, Yoga.

.

.

***

Seorang pria berusia enam puluh tahun, duduk sendirian di sebuah teras rumah kecil di sebuah perkampungan padat penduduk di pinggir Jakarta yang umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah.

Teras yang hanya selebar satu setengah meter itu, cuma muat diletakkan dua buah kursi dan sebuah meja kecil. Rumah berdempet-dempetan, saling berhadapan dengan gang selebar semeteran.

Pria yang sebagian rambutnya beruban itu, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan api. Tak lama, ia tak ubahnya seperti kereta api. Mengembuskan asap-asap ke udara.

"Kakek lagi ngerokok ya?" tanya seorang bocah yang muncul kepalanya dari atas dinding pembatas teras yang tingginya setinggi mata manusia dewasa.

Pria itu tersenyum. Ia sebenarnya tidak merasa tua. Tapi tiap dipanggil 'kakek' oleh anak tetangganya, barulah tersadar kalau dirinya sudah berusia kepala enam. Pertanda dia harus siap-siap karena sebentar lagi nyawanya mungkin akan END.

"Cahyo, kamu naik tangga lagi? Nanti diomelin emakmu, lho," seloroh pria itu.

"Rokok enak gak, Kek?" tanya Cahyo, bocah yang baru masuk di tahun pertamanya di Sekolah Dasar.

"Gak tau. Belom pernah makan rokok," sahut pria itu ngasal.

"Cahyoo!! Turun! Jangan ganggu Kakek Tyo!" omelan sang emak mulai terdengar.

"Aku cuman mau ngobrol aja sama Kakek!" rengek bocah itu. Pria yang dipanggil Tyo terkikik geli.

"Maaf ya, Kek!" seru seorang ibu-ibu berumur kepala tiga itu, yang rambutnya dicepol. Wanita itu hanya terlihat matanya saja, yang menyipit khas orang sedang nyengir.

"Gak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak," sahut pria itu tersenyum, sebelum melanjutkan kegiatan favoritnya. Merokok. Ritual pagi.

"Ayo cepat masuk! Mandi!" titah sang emak pada anaknya, terdengar oleh pria itu.

Ibunya Cahyo memberi wejangan pada anaknya, setengah berbisik.

"Kamu jangan sering-sering bergaul sama Kakek Tyo!"

"Kenapa, Mak?"

"Nanti kamu ikutan jadi perokok kayak dia! Jangan jadi kayak Babemu! Duit habis buat rokok! Pemborosan!"

Pria itu nyengir sendirian. Orang-orang kampung ini seringkali kurang sensitif dengan ukuran rumah tinggal mereka yang extra small. Kalau bicara, suara mereka tetap lantang walau berbisik sekalipun.

Asap rokok kembali keluar dari bibirnya. Kali ini, asap itu dibentuknya seperti lingkaran.

"Keeek!! Asapnya bentuk kotak, dong!" jerit Cahyo yang ternyata kembali ke teras saat melihat asap berbentuk cincin itu.

"Cahyoooo!!!" jeritan sang emak, kali ini disertai jeweran yang membuat Cahyo mengaduh.

Pria itu kembali terkikik. Asap berbentuk lingkaran kembali diembusnya. Sudah lima tahun ini, dia tinggal di sini. Pindah dari apartemen kelas menengah yang pernah disewanya saat masih aktif bekerja sebagai detektif swasta. Pernah menjadi polisi sebelumnya, sebelum dipecat. Pada usia lima puluh lima tahun, dia memutuskan pensiun. Sudah cukup uang yang disimpannya. Dan tubuhnya mulai kepayahan untuk menjalani pekerjaan berbahaya yang dulu ditekuninya. Maka ia memutuskan pindah ke sebuah perkampungan pinggiran ibukota, mengontrak sebuah rumah petak yang lebih pantas disebut kos-kosan.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now