51 - Kembali

228 53 24
                                    

.

.

"Keluarlah kamu, musuh Allah!"

.

.

***

Nuansa modern terasa kental di ruang kantor itu. Panel granit pada dinding, panel dinding busa berlapis kulit hitam mengkilap di belakang kursi empuk, dan lemari kayu solid walnut setinggi langit-langit di satu sisi ruangan, juga memberi kesan mewah. Empat sofa saling berhadapan, dengan meja kaca berjejer di tengah, adalah tempat spesial untuk klien spesial dari kantor biro hukum ini, salah satu biro hukum ternama ibukota. Sedikit sentuhan semi-klasik, terlihat dari plafon a la waffle dan lampu gantung hias di tengah ruangan. Di ujung ruangan, seberang kursi utama, ada layar televisi tiga puluh dua inchi, yang biasa dipakai untuk menonton rekaman persidangan.

Dekorasi timbangan hukum yang imejnya sering dipakai sebagai simbol keadilan dan firma hukum, bergoyang pelan di atas meja. Pajangan itu nampak mewah dengan sepuhan kuningan.

Di hadapan hiasan timbangan, seorang pria berusia empat puluhan yang masih nampak gagah, sedang menulis di buku catatannya. Membuat poin-poin to do list yang harus dilakukannya, terkait kasus favoritnya. Kasus yang melibatkan dua orang ulama, Raesha Akhtar dan Yunan Lham.

Banyak sekali yang perlu Theo lakukan. Menemui beberapa saksi, mengorek kelemahan lawan. Itu adalah bagian yang paling disukainya. Mengorek kelemahan dan keburukan lawannya. Semua orang punya cacat. Pasti. Kalau cacat itu tak ditemukan di saat ini, pasti ada di masa lampau. Tinggal dicari saja, lalu lakukan tekanan-tekanan mental pada lawan. Pekerjaan mudah. Apa lagi pekerjaan yang lebih mudah dari ini?

Pintu terdengar diketuk.

"Pak Theo, ini saya, Roger."

"Masuk," sahut Theo dengan suara berwibawa.

Pria bernama Roger memasuki ruangan. Pengacara yang lebih muda sepuluh tahun dari Theo.

"Hasil risetnya sudah ada?" tanya Theo pada lelaki berkacamata bening yang nampak gugup itu.

"Sudah, Pak," jawab Roger dengan map berisi dokumen di tangan.

"Duduk," kata Theo singkat, terdengar seperti titah.

Roger manut, duduk di depan bos besarnya dengan sikap sopan.

"Burhan mana?" tanya Theo. Burhan adalah pengacara yang lebih senior dari Roger, yang memang sengaja dipasangkan dengan Roger dalam sebuah kasus perceraian sekaligus perebutan hak asuh anak yang melibatkan seorang aktris film wanita dan pengusaha kaya raya.

"Pak Burhan sedang sholat, Pak," jawab Roger dengan nada ragu pada suaranya.

Theo tertawa singkat. Tertawa meledek. Roger salah tingkah. Sudah bukan rahasia lagi, kalau bos mereka, Theo Hayden, tidak begitu suka jika ada karyawannya yang beribadah. Buang-buang waktu saja, begitu kurang lebih pemikiran Theo. Bukan hanya kepada staf yang muslim. Yang beragama lain juga sama. Jika ada yang izin untuk keperluan acara keagamaan, biasanya kena cibiran minimal senyum meledek. Tapi mereka tetap bertahan bekerja di biro hukum milik Theo, lantaran bayarannya besar. Kemakmuran dunia, bisa dilihat dari parkiran mobil-mobil mentereng di luar bangunan kantor ini.

"Ya sudah. Kita mulai saja tanpa Burhan. Nanti kamu sampaikan hasil review saya padanya," putus Theo.

"Baik, Pak," sahut Roger yang bersiap dengan pulpen dan buku catatan di tangan.

"Apa hasil risetmu?" tanya Theo sambil membaca dokumen yang diserahkan Roger dari dalam mapnya.

"Saya sudah selidiki. Klien kita, Pak Riadi, ternyata memang benar melakukan perselingkuhan itu dengan model wanita bernama Yasmin. Pak Riadi juga memang benar melakukan penculikan terhadap anaknya sendiri yang bernama Niko. Niko dijemput paksa dari sekolahnya, lalu disembunyikan di villa pribadi milik Pak Riadi di Puncak. Awalnya saat saya tanya, dia menyangkal. Tapi begitu saya tunjukkan bukti-buktinya, dia mengaku juga," papar Roger.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now