45 - Gila?

178 49 9
                                    

.

.

Kita hanya bisa menanam dan berusaha menyirami tanaman kita.

Yang memutuskan mana tanaman yang tumbuh, dan mana tanaman yang mati, adalah Allah.

.

.

***

Adli bengong saat membaca pesan dari Elena di ponselnya. Ia bergegas ke arah kamar Yunan. Tadi siang dia melewatkan panggilan telepon dari Elena. Karena sibuk sekali di kantor, Adli berpikir untuk nantinya akan menghubungi Elena. Ternyata Elena meninggalkan pesan chat dan baru sempat dibacanya malam ini setelah tiba di rumah. Disangka Adli, Elena mau bicara apa, ternyata ...

"Kak, Rizal masuk Rumah Sakit Jiwa?" seru Adli setelah mengetuk pintu kamar Yunan dan Yunan membuka pintu.

"Iya. Elena tadi siang telepon ke Raesha. Kakak juga sempat bicara langsung dengan Elena," jawab Yunan.

"Ya Allah. Kok bisa?" gumam Adli sebelum menutup mulut dan menyugar rambutnya. Adli bahkan belum mengganti baju kantornya.

Yunan merasa iba. Sepeninggal Yoga, Adli bekerja banting tulang. Berangkat pagi, pulang malam. Nyaris tiap hari. Pasti berat. Tapi Adli menjalaninya tanpa mengeluh.

"Semua orang punya bagiannya masing-masing dalam syi'ar agama. Dan ini adalah bagian kita, Adli. Bagian Ayah, dan bagianmu. Jalani dengan sepenuh jiwa raga. Jadi orang jangan setengah-setengah," kata Yoga pada Adli dulu.

Yoga dan Adli, menghasillkan banyak, dan menyumbang untuk dakwah Yunan tanpa perhitungan. Jika kebanyakan orang kaya berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uangnya untuk bersenang-senang berlebihan, Adli dan Yoga tidak melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang sedikit, tapi orang-orang seperti mereka, selalu ada di setiap zaman.

"Kamu mau kita ngobrol di kamarmu? Apa kamu gak capek?" tanya Yunan sembari memijit pundak Adli.

"Dipijitin Kakak jadi gak capek, deh," canda Adli tersenyum.

Yunan mampir ke kamar Adli akhirnya. Membahas permasalahan Rizal.

"Jadi Kakak masih menunggu kabar dari Elena, sebelum menjenguk Rizal?" tanya Adli sambil menyesap kopi hitam bersama Yunan.

"Iya. Kakak gak enak kalau tiba-tiba datang. Kadang pihak keluarga merasa kurang nyaman kalau ada anggota keluarganya di RSJ yang dijenguk orang luar," jawab Yunan sebelum meletakkan kembali cangkirnya di tatakan keramik.

"Ya ya. Aku paham. Aneh juga, ya. Padahal, sepengelihatanku, Rizal adalah tipe orang yang cekatan, profesional dengan pekerjaannya. Bukan tipe yang mentalnya lemah dan mudah depresi" kata Adli dengan kernyitan di dahi.

"Karena, dia memang tidak gila," jawab Yunan. Jawaban yang membuat Adli berhenti menikmati kopinya.

"Gimana, Kak? Tapi, kata Elena, Rizal masuk RSJ."

"Elena belum cerita detail? Malam sebelum Rizal jadi berubah, ada saksi mata yang melihat seseorang membuntuti Rizal. Bukan. Bukan seseorang, tapi sesuatu," jelas Yunan. Tahu bahwa penjelasannya akan membuat Adli ngeri, tapi harus tetap dijelaskan agar Adli paham kondisinya.

"Sesuatu?" gumam Adli yang tetiba merasa tegang. Uh oh. Apakah ini cerita horor? tebaknya.

"Sesuatu itu, masuk ke mobil Rizal. Tembus ke pintu belakang."

Adli mengucap istigfar. Nah kan benar. Ini kisah horor. Bukan kisah favoritnya. Kelak kalau dia nonton bioskop bareng Elaine, fix dia akan menghindari film horor. Eh. Memangnya kapan dia bisa nonton bioskop berdua Elaine? Bisa-bisanya Adli menghalu di saat genting begini.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now