8 - Ketetapan

255 56 10
                                    

.

.

"Terhadap ketetapan Allah, manusia bisa ridho, dan bisa juga tidak ridho. Tapi yang terjadi, tetap adalah ketetapan Allah."

.

.

***

Rombongan dari pemakaman, telah tiba di rumah mendiang orang tua Erika. Jumlah pelayat telah berkurang jauh ketika Yunan dan Adli tiba di sana. Satu per satu sanak saudara dan tetangga pamit pulang, hingga tersisa Erika dan keluarga dekatnya.

Erika menatap foto keluarga yang kini telah diletakkan kembali di ruang tamu. Menangis tanpa suara.

"Bu," panggil Yunan. Tangan Yunan terasa hangat di punggung Erika.

"Ya?" sahut Erika memaksakan diri tersenyum.

"Rumah ini, rencananya --," Yunan segan bertanya. Dia hanya ingin tahu rencana Erika saja sebenarnya.

"Mau Ibu jual saja. Hasil penjualannya, akan Ibu sumbang ke panti asuhan. Salah satunya, ke panti tempat Ibu dulu ketemu kamu untuk pertama kali. Ibu akan niatkan sumbangan itu atas nama Mbah kakung dan Mbah putri."

Yunan mengangguk. "Pahalanya akan sampai pada mereka insya Allah, dan Ibu juga, karena kebaikan yang Ibu niatkan."

Erika mengaminkan, sebelum pandangannya menerawang jauh. "Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan. Banyak sekali."

Yunan mengangguk. Tentu saja. Yunan adalah saksi sejarah cinta Yoga dan Erika, yang terpaut dengan rumah ini. Di rumah ini, pertikaian rumit antara Erika dan Yoga, yang disebabkan oleh buku catatan almarhum Farhan, mencapai klimaksnya. Keduanya akhirnya berbaikan dan menikah keesokan harinya. Sungguh drama, yang kesemuanya sejatinya adalah ketetapan Allah.

"Sangat disayangkan rumah ini harus dijual. Tapi tak ada dari kita yang bisa menempatinya. Dan Ibu tidak mau rumah ini kosong tak berpenghuni. Ibu berharap rumah ini kelak menyimpan banyak cerita indah lainnya.

Kita memang sebaiknya tidak terikat pada materi. Semua tempat, adalah milik Allah. Ibu berharap, kelak ada hamba-hamba Allah yang bersujud di rumah ini. Meneruskan sujudnya Mbah putri dan Mbah kakung.

Semuanya akan pergi, pada akhirnya. Sejak kehilangan Farhan dan Yoga, Ibu sudah paham itu."

Yunan dan Erika sedang berdua saja saat itu, di ruang tamu yang furniturnya baru saja dikembalikan ke tempatnya. Adli dan pelayan dari rumah Danadyaksa, sedang sibuk merapikan furnitur ruang duduk, sementara Haya sedang memotong kue pemberian dari saudara jauh. Elaine menyiapkan teh hangat untuk semua orang, terutama Adli dan Abinya yang baru pulang dari pemakaman.

Mata Yunan terasa basah. Dia telah merasakan ditinggal sosok orang tua berkali-kali. Orang tua kandungnya, lalu Farhan, Yoga. Kepedihannya serupa. Dan Erika, adalah satu-satunya orang tuanya yang tersisa.

"I-Ibu, meskipun tidak ada darah Ibu setetes pun dalam darahku, Ibu sangat istimewa bagiku. Aku berharap, kelak kita dikumpulkan di sebaik-baiknya tempat, bersama Ayah Yoga juga. Ayah Farhan juga," ucap Yunan dengan suara bergetar.

Tampang Erika mendadak terlihat seperti sedang berpikir. "Jangan. Jangan. Yoga sama Farhan jangan ketemu. Nanti mereka berantem di sana," gumam Erika sambil menggeleng.

Tawa Yunan pecah. Padahal suasananya sedang sedih, tapi dasar Erika pelawak alamiah. Buyar sudah momen barusan.

Anak dan ibu angkat itu, saling tersenyum dengan mata basah.

"Allah telah mengilhamkan Ibu untuk memilihmu waktu itu di panti asuhan. Di antara banyak anak lainnya. Tiap detik bersamamu, adalah waktu yang penuh dengan berkah. Alhamdulillah. Tak ada sedikit pun penyesalan."

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang