31 - Perdana

175 53 9
                                    

.

.

"Orang jahat bisa jadi baik, dan orang baik bisa jadi jahat.

Semua tergantung persepsi."

.

.

***
Raesha merasa dahinya berkeringat dingin. Padahal suhu AC di dalam mobil cukup rendah.

"Raesha, kamu sakit?" tanya Arisa yang menyadari ketegangan mimik wajah Raesha.

"E-Enggak, Kak. Aku cuman ... deg-degan aja. Maksudku, aku memang sudah sering siaran dakwah disorot kamera TV, tapi baru kali ini aku datang ke pengadilan," jawab Raesha.

Arisa memberikan tisu pada Raesha, dan Raesha segera mengusap keningnya dengan tisu itu.

"Jangan panik, Rae. Ruang sidang itu, biasa saja. Sama seperti ruangan-ruangan auditorium dan semacamnya. Tak ada yang istimewa," kata Yunan yang sudah bolak-balik kena kasus. Kasus bom, percobaan pembunuhan dan lain-lainnya itu. Yunan bersaksi dengan bahasa asing pula.

"I-Iya, Kak. Aku cuman khawatir, kalau aku terlalu tegang, apa bayiku bisa lahir prematur?" tanya Raesha dengan tampang meringis.

Yunan terkejut mendengarnya. Istrinya juga terkejut di balik cadar.

"Hus! Ngawur aja! Jangan mikir yang aneh-aneh! Pikir yang baik-baik aja!" omel Yunan.

"Iya iya. Yang baik-baik. Yang baik-baik," ulang Raesha memejamkan mata.

"Ingat, Rae! Kita bersaksi sebagai korban! Bukan tersangka!" tegas Yunan dengan tampang serius.

Raesha menelan saliva. Benar. Terutama, sidang hari ini masih akan membahas kasus pembunuhan Ilyasa. Dan Ilyasa seratus persen korban, tanpa sempat melawan.

Raesha mengatur napas. Kenapa dia setegang ini? Mungkinkah karena dia menyiram racun itu ke dada Sobri? Sungguh dia menyesal. Kenapa tak ada benda lain di kamarnya yang bisa dijadikan senjata saat itu?

Yunan melihat tingkah cemas Raesha dari cermin di atas dashbor mobil. Ia menghela napas kasar. Berusaha maklum. Keluarga Danadyaksa baru kali ini terlibat kasus hukum.

Terakhir keluarga Danadyaksa punya kasus, adalah saat Yoga diculik dan Dana dimintai uang tebusan. Gara-gara insiden itu, Dana melengkapi para pengawal dengan senjata api.

Dan senjata api itu akhirnya benar-benar ditembakkan untuk membela diri, setelah Yoga dan Dana wafat.

.

.

Orang-orang memadati area hingga keluar gerbang gedung pengadilan Jakarta Selatan. Ramai para wartawan yang sudah tiba bahkan sejak sebelum gerbang dibuka. Namun jumlah mereka kalah dengan jama'ahnya almarhum Ilyasa, yang mendatangi lokasi ini dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka rela menyewa bus demi menyuarakan keinginan mereka yang tertulis jelas pada spanduk besar yang mereka bentang dan dipegangi beramai-ramai. Spanduk yang bertuliskan #HukumanMatiUntukSobri

Oppa tercinta kau racuni
Tujuh bulan kau melarikan diri
Polisi sulit mencari
Pantaslah kau ditagari
#HukumanMatiUntukSobri

Demikian lirik yel-yel yang mereka gubah, mereka teriakkan dari hati.

Seorang reporter wanita berhijab dan berseragam hitam dengan logo stasiun televisi swasta tersemat di bahunya, tersenyum saat rekan sesama krunya mulai mengitung mundur. Persiapan untuk laporan live dari TKP.

"Tiga ... dua ... satu ... action!"

"Pemirsa, sesaat lagi persidangan kasus pembunuhan Ustaz Ilyasa, akan disiarkan langsung dari pengadilan Jakarta Selatan.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang