41 - Kiriman

194 56 18
                                    

.

.

Theo Hayden. That freaking man.

.

.

***

"Pulang, bos?" tanya staf admin di meja resepsionis kantor.

"Bas bos bas bos aja kamu," sahut Rizal dengan tampang bete. Kebiasaan orang zaman now. Bukan bosnya, dipanggil 'bos' malah terdengar seperti meledek alih-alih menghormati.

Admin wanita itu tertawa. Ia pun membereskan tasnya, bersiap untuk pulang. Langit sudah gelap. Ekor mata wanita itu menangkap sesuatu yang ganjil. Seseorang melintas di hadapannya, seolah mengikuti Rizal. Sosok berambut panjang sepinggang itu, mengenakan kemeja dan celana hitam. Sempat disangka perempuan, tapi ternyata laki-laki.

"Permisi! Mas!" panggil sang admin. Namun pria itu tidak menoleh. Siapa, ya? batinnya. Yang jelas, bukan staf kantor.

Di parkiran, terlihat Rizal menekan tombol kunci mobil Daihatsu Terios miliknya. Rizal masuk ke dalam mobil, dan pria berambut panjang itu menyusul masuk ke dalam mobil Rizal melalui pintu belakang.

Oh. Temannya Mas Rizal ternyata, batin wanita itu sebelum kembali merapikan barangnya ke dalam tas. Namun tangannya tetiba berhenti bergerak saat menyadari sesuatu.

Pintu belakang mobil Rizal tadi tidak terbuka. Pria berambut panjang itu, masuk ke dalam mobil menembus pintu belakang.

Dengan tangan gemetar, wanita itu mengetik chat ke nomor Rizal. Ingin menelepon, tapi saat ini rasa takut membuat suaranya terasa tercekat.

.

.

Rizal menyalakan mesin mobil. Dia tadinya ingin pulang sore saja hari ini dari kantor, tapi kejadian ganjil siang tadi di koridor luar ruang sidang, membuatnya jadi teringat pria aneh itu. Theo Hayden. Theo tiba-tiba seperti menjambak rambutnya, di tengah perselisihan mereka. Ada-ada saja. Seperti kelakuan wanita kalau berkelahi. Pas ditanya, jawab Theo, dia mengusir serangga yang menempel di rambutnya. Memangnya serangga apa yang ada di dalam gedung pengadilan, sampai-sampai rambutnya harus ditarik sedemikian rupa?

Theo Hayden. That freaking man, misuh Rizal dalam hati. Dia tidak heran kalau Elena sampai kelihatan takut pada pria itu.

Gegara teringat Theo, Rizal jadi menghabiskan waktu lebih lama di kantor. Mencari tahu tentang Theo. Tak banyak yang bisa ditemukannya, selain artikel-artikel tentang kemenangan Theo di berbagai persidangan. Sepertinya, Elena tahu lebih banyak soal Theo, karena pernah bicara empat mata dengan teman kuliah Theo. Tapi dipancing-pancing seperti apa pun, Elena tetap tidak mau cerita detail tentang Theo. Bikin kepo saja.

Lihat saja. Kalau sampai Sobri berhasil dituntut setidak-tidaknya hukuman penjara seumur hidup, maka itu akan jadi kekalahan perdana dalam sejarah karir Theo. Rizal menantikan saat itu tiba. Dia ingin lihat wajah Theo nantinya. Apa masih bisa tenang seperti biasa?

Dipikir-pikir, Rizal merasa agak senang tadi, ketika melihat Theo akhirnya bisa bereaksi kesal terhadap aksinya di persidangan. Padahal, mengingatkan saksi bahwa mereka berada di bawah sumpah, semestinya adalah hal biasa. Dia juga heran kenapa Theo bisa sekesal itu. Dugaan Rizal, Theo mungkin kesal karena di luar rencana, saksi yang semestinya meringankan Sobri, malah jadi ikut memberatkan Sobri.

Suara notifikasi chat terdengar dari ponsel Rizal. Ia paling malas cek ponsel di dalam mobil. Nanti saja lah, pikirnya.

Pria itu membetulkan posisi cermin di atas dashbor, dan jantungnya sempat melonjak saat merasa melihat sesuatu -- atau seseorang berambut panjang dan berwajah pucat -- di pantulan cermin. Rizal spontan menoleh ke belakang, namun tak ada sesiapa di bangku belakang. Tentu saja. Dia 'kan memang pulang sendiri.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now