17 - Korban vs Tersangka

229 56 5
                                    

.

.

Dia korban dalam kasus ini, tapi sekarang dia merasa seolah menjadi tersangka. 

.

.

***

Mobil fortuner hitam memasuki gerbang kantor kepolisian. Mobil sedan audi hitam milik keluarga Danadyaksa, menyusul di belakang, sengaja mengambil jarak, sesuai permintaan Yunan pada sang supir yang menyetiri Ismail dan Ishaq. Biar Yunan dan Raesha saja yang masuk lebih dulu ke dalam bersama polisi. Anak-anak belakangan saja. Tunggu kerumunan wartawan mereda.

Yunan dan Raesha turun dari mobil, dikawal kedua polisi. Dihujani berbagai pertanyaan beruntun dari wartawan. Keduanya tak ada yang menjawab.

Pintu masuk kantor polisi dibukakan dua petugas dari dalam. Yunan dan Raesha masuk lebih dulu. Pintu ditahan oleh polisi yang mengawal mereka.

Begitu memasuki ruangan untuk saksi, keberadaan seorang wanita kantoran berhijab seleher, nampak mencolok di ruangan itu.

"Ya Allaaahhh, Ustadzah Raeshaaa!!!" jerit wanita cantik berkaca mata bening itu, berlari ke arah Raesha.

Raesha pucat wajahnya saat dirangkul erat oleh wanita yang ia tak tahu siapa.

Tangan Raesha dicium oleh wanita itu. "S-Saya Elena! Kuasa hukum Ustadzah dan Syeikh Yunan. Saya diminta secara resmi oleh Adli!"

"O-Ooh ... masya Allah. Assalamu'alaikum, Bu Elena," ucap Raesha. Terkejut. Kuasa hukum yang dipekerjakan Adli untuk mereka, terlihat sangat ... bersemangat.

"Wa'alaikum salam, Ustadzah. Panggil Elena saja. Ha ha. Terbalik, ya. Mestinya saya duluan yang memberi salam. Ya gak apa-apa lah. Lain kali insya Allah saya gak akan keduluan. Assalamu'alaikum juga, Syeikh," Elena mengatupkan tangan di depan Yunan. Kakinya gemetar. Akhirnya dia kesampaian berhadapan langsung dengan kedua orang ini yang berkat pernah kenal dengan Adli, ini bisa terjadi padanya.

"Wa'alaikumussalam," sahut Yunan mendekapkan tangan. Tersenyum sopan pada Elena, membuat Elena serasa akan oleng.

"Silakan duduk, Syeikh Yunan, Ustadzah Raesha dan Bu Elena. Jadi, Bu Elena meminta untuk dibuatkan laporan pengaduan ulang, kali ini resmi dengan Bu Elena sebagai kuasa hukum Ustadzah Raesha sekeluarga," kata seorang polisi yang duduk di depan komputer.

"Baik, Pak. Kami bersedia diwakilkan oleh beliau," kata Yunan menunjuk Elena dengan cara sopan khas Jawa. Sesuatu yang dia pelajari dari ibu kandungnya dulu.

Laporan baru dibuat dan ditandatangani oleh Raesha dan Elena.

"Karena sudah ada kuasa hukum, apa Syeikh, Ustadzah dan Bu Elena bersedia untuk hadir di konferensi pers bersama kami?" tanya polisi.

"Konferensi pers?" tanya Raesha.

"Benar. Kasus ini sudah menyita perhatian masyarakat luas. Mereka meminta pernyataan resmi dari kepolisian. Karena anda semua sedang berada di sini, akan lebih baik jika Ustadzah dan kuasa hukumnya ikut hadir. Ruangan konferensi persnya di auditorium kami. Sudah disiapkan. Para wartawan sudah kami arahkan ke sana."

"Haruskah adik saya muncul di konferensi pers? Kami sebenarnya tidak menyiapkan diri untuk ini. Maksud saya --," Yunan sulit menemukan padanan kata yang tepat. Sebenarnya, dia tidak suka Raesha muncul disorot pers, terutama dalam kondisi memarnya belum sembuh seperti sekarang.

"Jangan khawatir, Syeikh. Ini hanya pernyataan bahwa Ustadzah Raesha telah resmi mengajukan tuntutan hukum terhadap Sobri," jelas pak polisi.

"Jangan khawatir, Syeikh! Saya yang akan bicara! Syeikh dan Ustadzah cukup diam saja. Tidak perlu menjawab pertanyaan wartawan sepatah kata pun!" kata Elena sambil menunjuk dirinya sendiri.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now