19 - Janggal

163 55 8
                                    

.

.

Wajar saja kalau mereka tidak paham bahwa hal-hal janggal itu berhubungan.

.

.

***

"Kenapa anda memutuskan untuk menjemput saudari Raesha dan kedua putranya malam itu, padahal anda bilang tadi, ada beberapa mobil beserta supir keluarga anda, yang stand by di luar kediaman mendiang Mbah anda? Bisa saja tugas itu dilakukan oleh salah satu supir di sana, tanpa anda perlu ikut ke sana?" 

Pertanyaan staf penyidik itu, dilontarkan oleh seorang polisi muda berpangkat bripda. Brigadir Polisi Dua. Tanda kepangkatan berbentuk sebuah segitiga perak, tersemat di seragamnya. Ahmad, demikian namanya tertulis di kantung bajunya.

"Memang benar. Bisa saja Raesha dan anak-anak dijemput hanya oleh supir. Tapi malam itu saya memutuskan ikut, karena saya punya ... firasat tidak enak," jawab Yunan hati-hati. Tentunya dia tidak akan bilang bahwa dia sudah tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, dari cerita Zhafran. Dan firasat itu mengerucut ke arah Raesha, saat Yunan mendengar bahwa Raesha sendirian saja di rumah malam itu.

Seorang staf polisi muda lainnya, mengetik jawaban Yunan di depan komputernya.

"Firasat? Hanya itu? Anda tiba-tiba saja punya firasat bahwa adik anda dalam bahaya?" tanya sang penyidik.

"Ya. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Jadi bisa dibilang, kami sangat dekat. Saya rasa, wajar jika terkadang muncul firasat akan bahaya yang mendekati orang terdekat kita," kilah Yunan beralasan.

Andre mengangguk. "Lalu, jam berapa anda tiba di rumah adik anda?"

"Sekitar jam setengah sepuluh, atau jam sepuluh. Entahlah. Saya tidak begitu memperhatikan, karena sepanjang perjalanan saya sibuk berusaha menghubungi Raesha, tapi nomornya tidak aktif."

"Semestinya hanya perlu tiga puluh menit maksimal, dari rumah Mbah anda ke rumah saudari Raesha?"

"Karena waktu itu hujan deras. Banjir di beberapa tempat. Supir harus berputar mencari jalan lain."

"Lalu, saat tiba di rumah saudari Raesha, apa yang terjadi?"

"Waktu itu saya --," Yunan berhenti bicara, saat ponselnya dirasanya bergetar di kantung jaket.

"Maaf. Boleh saya cek sebentar hape saya?" tanya Yunan sopan.

"Silakan," sahut Andre sang penyidik.

Yunan mengeluarkan ponselnya dari kantung. Arisa menghubunginya.

"Maaf, Pak. Boleh saya terima dulu telepon dari istri saya?"

"Silakan."

Yunan menjauh ke sudut ruangan, mengangkat telepon dari Arisa.

"Assalamu'alaikum," sapa Yunan terlebih dulu.

"W-Wa'alaikumussalam. S-Sayang, kamu barusan di bandara?" tanya Arisa dengan suara panik.

"Hah?? Apa maksudmu? Aku masih di kantor polisi. 'Kan aku sudah bilang kalau gak bisa jemput kamu ke bandara," jawab Yunan dengan ekspresi bingung.

"S-Soalnya ... barusan, aku lihat kamu di bandara. T-Terus ... ," kalimat Arisa terhenti, berganti dengan tangis.

"Kamu kenapa?" seru Yunan syok. Menangis terisak-isak, bukan kebiasaan istrinya. Perlu hal besar untuk membuat Arisa menangis. Dan salah satu hal itu adalah, jika mereka berdua bertengkar.

"Kamu masih di bandara?" tebak Yunan, karena terdengar suara berisik orang lalu-lalang, lalu suara pengumuman jadwal penerbangan, khas di bandara.

"I-Iya. Aku masih --"

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang