11 - Takut

179 57 13
                                    

.

.

Dia takut dengan dirinya sendiri. Takut dengan nafsunya sendiri. 

Takut nafsunya mengalahkan ilmu yang ada pada dirinya. Takut!

.

.

***

Malam sangat larut. Penerangan di kamar yang ditempati keluarga Raesha, sudah temaram. Lampu utama telah dimatikan dan hanya tersisa lampu nakas yang menyala.

Raesha berbaring di ranjang, memunggungi kedua putranya. Dia bisa mendengar suara dengkuran halus Ishaq. 

Air mata mengaliri pipi Raesha, menyentuh hidungnya dan jatuh ke kasur. Ia merasa tenang menangis di suasana redup seperti ini. Tak ada yang melihatnya. Perlakuan Yunan yang berubah menjadi lebih dingin tiba-tiba, adalah penyebab kesedihannya. Dipikir-pikir, semenjak Ilyasa tiada, Yunan kembali dekat dengannya dan bahkan juga dengan kedua putranya. Kedekatan itu bukan hanya mendatangkan kebahagiaan, tapi juga air mata. Raesha tidak pernah menghitung, berapa kali dirinya dibuat menangis oleh Yunan.

Ini salahku sendiri! Salahku! rutuk Raesha dalam hati. Siapa suruh masih menyimpan perasaan pada pria beristri? Dipikirnya, dulu saat Raesha menerima Ilyasa sebagai cinta kedua dalam hidupnya, cinta pertamanya akan kandas otomatis. Tapi ternyata itu bukan cara cinta berlogika. Bahkan mungkin tak ada kata 'logika' dalam cinta. 

"Ibu."

Panggilan dengan suara berbisik itu, membuat Raesha terkejut. Itu adalah suara Ismail. Disangkanya, Ismail sudah tidur dari tadi. Tangan Raesha sibuk mengelap air mata, sebelum menoleh ke belakang.

"Ya, sayang? Kamu belum tidur?" tanya Raesha memaksakan diri tersenyum.

Ismail menampakkan raut wajah sedih. Anak itu langsung tahu kalau ibunya baru saja menangis.  Atau mungkin lebih tepat jika dikatakan, ibunya menangis sejak lampu langit-langit dimatikan.

"Ibu sama Om Yunan berantem?" tanya Ismail hati-hati.

Raesha terkejut. Sejelas itukah? Sampai Ismail menyadari bahwa ada yang tak biasa dari cara Yunan bersikap padanya.

"Bukan berantem, sayang. Mungkin Om Yunan cuma capek. Om Yunan 'kan baru datang jauh-jauh dari Sumatera Barat, lalu ke rumah kita dan menyelamatkan kita dari orang itu. Lalu besoknya, Om Yunan harus memimpin salat jenazah, kemudian mengantar jenazah Mbah kakung dan Mbah putri ke pemakaman, sampai prosesi pemakaman selesai, lalu balik lagi ke rumah Mbah, sebelum ke rumah ini. Wajar kalau Om Yunan kelelahan. Jadi, Om Yunan cemberut bukan karena berantem sama Ibu," jelas Raesha sambil mengelus wajah Ismail.

Mata Ismail kini tertuju ke pipi ibunya yang masih lebam. Sedih rasanya. Dia merasa gagal melindungi ibunya.

"Aku sayang Ibu," ucap Ismail sambil merangkul hati-hati ibunya, takut melukai calon adiknya di dalam perut Raesha. Air mata Ismail menitik ke dada Raesha.

"Ibu juga, sayang," kata Raesha dengan suara bergetar. Gagal menahan air matanya. Keberadaan Ismail seringkali membuat Raesha merasa, Ilyasa masih hidup, hanya saja berubah bentuknya. Kasih sayang Ilyasa untuknya masih ada, hanya saja berubah wujudnya.

Gruuuk! 

Muka Raesha merah menahan malu. Itu adalah bunyi perutnya.

"Ibu lapar?" tanya Ismail.

"Mm ... mungkin. Sedikit," jawab Raesha cengengesan. Makan malam tadi, terasa tidak mengenyangkan karena Raesha makan sambil menahan tangis. Tak keruan rasanya. Makannya habis sepiring sih, tadi. Tapi mungkin dedek bayi di dalam perutnya mau lebih.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now