2 - Malam Mencekam

172 48 9
                                    

.

.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah Raesha! Afwan, saya tidak masuk lewat pintu depan!" 

.

.

***

Azan Maghrib berkumandang. Raesha salat sendirian di kamarnya, lalu zikir setelah salat dan membaca ratib. Setelah selesai, Raesha melipat mukena dan sajadahnya. Notifikasi berbunyi dari ponselnya. Pesan dari Adli.

Kak, Mbah putri meninggal sore ini. Serangan jantung dadakan, kata dokter. Kami baru tiba di rumah Mbah. Kedua jenazah sedang dimandikan. Rencana dikubur besok. Masih menunggu saudara-saudara dari luar kota. Ibu masih pingsan. Sekarang, Ibu di kamar Mbah, ditemani Haya dan Elaine. Kak Yunan belum datang. Penerbangannya delay. Mungkin sebentar lagi pesawat Kak Yunan mendarat.

Tubuh Raesha gemetar dan wanita itu menangis sesenggukan. Ya Allah. Mbah putri menyusul Mbah kakung. Masya Allah. Beberapa kali Raesha mendengar kisah semacam ini. Pasangan suami istri yang sangat dekat, diwafatkan berdekatan. Raesha mengangkat kedua belah tangannya dan berdo'a, mengirim Al Fatihah untuk mereka berdua.

Dengan tangan masih gemetar, Raesha meraih ponsel dan berusaha menghubungi Yunan. Ponsel Yunan tidak aktif. Mungkin Kak Yunan masih di pesawat, tebaknya.

Raesha menangis lagi. Membayangkan perasaan ibunya sekarang, yang seketika menjadi yatim piatu. Andai dia ada di sana sekarang, sehingga dia bisa berada di sisi Erika, setidaknya.

Ponsel Raesha berbunyi. Telepon dari seorang ustadzah madrasah.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah Raesha."

"W-Wa'alaikumussalam," jawab Raesha dengan sisa tangis.

"A-Ada apa, Ustadzah?" tanya lawan bicara Raesha yang menyadari suara Raesha terdengar seperti sedang menangis.

"Gak apa-apa. Ada apa, Ustadzah Maira? Rombongan anak-anak sudah sampai mana?"

"Ini baru berangkat, Ustadzah. Tadi kegiatannya agak molor mulainya. Jadi ba'da Maghrib kami baru berangkat."

"Ya Allah! Baru berangkat jam segini? Orang tua murid sudah dikasih tahu?"

"Sudah, Ustadzah. Kami sudah info di grup chat. Mungkin bus baru tiba di madrasah sekitar jam sembilan atau setengah sepuluh malam."

"Ya Allah," gumam Raesha menggeleng. Kasihan anak-anak itu. Mereka pasti mengantuk dan lelah sekali.

"Afwan, Ustadzah. Tadi di luar dugaan, pas berangkat macet parah. Jadi jadwal mundur semua dari rencana."

"Kheir, Ustadzah Maira. Tidak apa-apa. Tolong kabari saya kalau ada hambatan di jalan. Semoga lancar-lancar saja."

"Baik, Ustadzah. Amin. Sejauh ini, lalu lintas lancar. Semoga terus lancar sampai madrasah."

Percakapan keduanya lalu berakhir. Raesha menghela napas. Kenapa di saat duka mendalam seperti saat ini, kedua putranya malah berada jauh darinya?

Raesha hendak makan malam, meski sebenarnya dia merasa tidak nafsu makan lantaran memikirkan kedua putranya yang kemungkinan besar mereka saat ini sedang tertidur kelelahan. Untungnya, konsumsi sudah diurus panitia field trip, jadi dia tidak perlu cemas anak-anak itu kelaparan di dalam bus.

Raesha duduk perlahan di kursi makan, sambil memegang perutnya yang besar. Baru saja ia menyendok lauk sup daging sapi buatan Erika, dan akan memindahkannya ke mangkuk, tiba-tiba suara yang cukup nyaring dari arah pagar depan, mengejutkan Raesha.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now