20 - Surat Panggilan

173 53 7
                                    

.

.

"Welcome to the club, Adli." 

.

.

***

"Dia menyuruhmu kembali ke tempat suluk?" tanya Yunan saat akhirnya bicara empat mata dengan istrinya di kamar.

Arisa mengangguk. Cadar dan jilbabnya sudah dilepas. Kulitnya pucat lantaran baru saja syok setelah apa yang dilihatnya di bandara.

"Iya. Dia bilang, dia akan sibuk mengurus macam-macam di Jakarta. Waktunya tidak tepat kalau aku datang sekarang, katanya."

"Lalu?"

"Aku menarik lengannya, tapi dia kelihatan tidak suka. Dia menyuruhku jangan dekat-dekat. Kupikir, kamu sakit. Eh -- dia -- sakit. Aku mendekat padanya, bertanya apa kamu -- eh -- makhluk itu, sakit. Lalu ... "

Bibir Arisa gemetar. Yunan menggenggam jemari istrinya erat. Memberi kekuatan agar Arisa bisa menyelesaikan ceritanya.

"Makhluk itu menjerit melengking, sebelum terbakar dan asap putih membumbung menutupi tubuhnya hingga habis dan hilang begitu saja. Hanya aku yang melihatnya, sementara orang-orang di sekitarku, ternyata melihatku bicara sendiri."

Yunan mengangguk. Arisa bicara dengan makhluk itu dari jarak dekat, karena Arisa menyangka makhluk itu adalah suaminya. Yunan paham kalau makhluk itu sepertinya terbakar karena napas Arisa saat bicara. Napas orang yang melazimkan salat sunnah Dhuha, mampu membakar jin.

Air mata Arisa menetes. "D-Dia hilang. Tak ada jejaknya. Apa itu -- makhluk serupa yang pernah kulihat dulu waktu kamu akan bicara dengan Raesha di ruang tamu rumah ini?"

"Mungkin. Dari jenis mereka. Entahlah. Bentuk mereka bermacam-macam. Mereka ada banyak," jawab Yunan.

Arisa menghapus air matanya. "K-Kamu dan Raesha masih diganggu? Kapan terakhir kali --"

"Semalam. Di rumah ini," jawab Yunan singkat. 

"Ya Allah," gumam Arisa sambil menutup muka.

"Mereka tak akan berhenti. Entah sampai kapan," kata Yunan dengan tatapan tertunduk ke lantai.

Arisa terdiam. Ucapan Yunan membuatnya berpikir.

"Jangan khawatir, sayang. Aku sudah bicara dengan Zhafran. Mereka sebenarnya kesulitan mencari celah, karena kita semua alhamdulillah punya amalan. Maka yang bisa mereka lakukan hanya itu. Mengganggu dan membuat kita merasa tidak nyaman, atau tidak betah. Kalau dulu, mereka bisa masuk melalui Raesha. Tapi alhamdulillah Raesha yang sekarang sudah jauh berubah dibanding dulu."

Arisa menatap wajah suaminya yang tersenyum teduh. 

"Aku sudah bicara pada Raesha. Tak ada satupun dari kami yang perlu lari dari makhluk-makhluk itu. Kita hadapi mereka sama-sama. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja, insya Allah," kata Yunan dengan penuh keyakinan.

Arisa memaksakan bibirnya tersenyum. Ia merasa gamang. Memang, bisa saja mereka mengabaikan semua gangguan-gangguan itu. Tapi, bukankah hidup mereka akan menjadi tidak nyaman karenanya? Sementara pertemuan Raesha dan Yunan tak terelakkan. Meski tidak sedarah, mereka tetap keluarga. 

Sampai kapan mereka harus seperti ini?

.

.

Pintu kamar Raesha diketuk dari luar.

"Nyonya Raesha, makan malam sudah siap," suara pelayan wanita.

Raesha melengos. Alangkah malasnya keluar kamar dan bertemu pasangan itu. Kak Yunan dan Kak Arisa. Tapi apa boleh buat. Dia terpaksa. Akan aneh jika dia mengurung diri tanpa setidaknya bersalaman dengan Kak Arisa.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang