59 - Ganjil

183 45 34
                                    

.

.

"Saudari Elena, kesaksian anak di bawah umur, tidak bisa dijadikan dasar sebagai alat bukti sah di pengadilan."

.

.

***

"Ancaman apa yang ditujukan terdakwa pada anda?" tanya Rizal dengan raut muka serius.

Raesha mengembuskan napas berat, sebelum menjawab, "dia bilang, dia ingin balas dendam. Dia tidak terima dipecat oleh Ilyasa dengan tidak terhormat. Katanya, gara-gara pemecatan itu, dia sulit mendapat pekerjaan. Sebagai dampaknya, istrinya meninggalkannya."

Para hadirin ruang sidang, lagi-lagi menyoroti Sobri dengan tatapan kesal. Bagi mayoritas orang, pemecatan itu adalah hak Ilyasa sebagai pemilik madrasah yang merasa istrinya diperlakukan secara tidak hormat oleh kedua staf pengajar di madrasahnya sendiri.

"Lalu apa yang dilakukan terdakwa?" Rizal melanjutkan sesi pertanyaannya.

"Setelah memukul pipi saya hingga saya terdorong ke ujung meja, dia ... menyentuh dagu saya," jawab Raesha dengan mata berkaca-kaca. Masih ingat rasa jijiknya saat disentuh Sobri secara paksa.

Yunan menyembunyikan kepalan tangannya. Kesal sekali rasanya. Dia sebenarnya tidak rela bahkan jika Raesha disentuh dengan seujung jari pun oleh laki-laki lain. Dulu dia perlu waktu lama sebelum akhirnya merelakan Raesha dengan Ilyasa. Membayangkan tangan Sobri menjamah wajah Raesha, cukup untuk membuat emosinya menyala.

"Apa yang dikatakan terdakwa? Balas dendam macam apa yang dia maksud?" tanya Rizal. Pertanyaan yang sebenarnya Rizal tahu jawabannya. Murni hanya agar majelis hakim mendengar kronologis kejadian dari kliennya sebagai korban.

"Dia menempelkan sebilah pisau ke pipi saya. Mengancam akan merusak wajah saya dengan pisau itu, tapi ... sebelumnya dia bilang akan ... menyetubuhi saya." Raesha segera menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh. Teringat kembali seberapa takutnya ia malam itu.

Ruang sidang riuh. Mereka tak tahan untuk saling bicara, merutuki pria berstatus terdakwa yang duduk di depan sana, di samping pengacaranya. Padahal lebih pantas kalau Raesha yang balas dendam pada Sobri. Ini malah sebaliknya.

Yunan menghela napas. Syukurlah waktu itu dia datang tepat waktu. Lelaki cabul itu sudah duduk dengan Raesha di ranjang. Sekiranya Yunan telat lima menit saja -- tidak -- semenit saja, mungkin sudah lain ceritanya.

"Hadirin harap tenang!" Palu hakim berbunyi, hingga para pengunjung sidang terdiam.

"Lalu, apa yang terjadi?" Rizal lanjut bertanya, setelah suasana sidang tenang kembali.

"Saya memohon agar dia tidak melakukan itu pada saya. Terutama karena saya sedang hamil besar. Tapi dia malah mengancam akan mengeluarkan bayi saya secara paksa, kalau memang bayi saya menjadi penghalang untuk mencapai keinginannya," jawab Raesha yang suaranya gemetar di akhir kalimat.

Ruang sidang kembali bising. Kali ini, suara sorakan dan celaan terlontar untuk Sobri. Rizal menepuk pelan lengan Yunan setelah menangkap sorot mata amarah dari Yunan yang tertuju ke arah Sobri. Siapa yang tak akan terpicu emosinya, mendengar ancaman sadis itu tega dilontarkan pada Raesha, janda yang suaminya mati dibunuh dan sedang hamil tua pula. Mengeluarkan calon bayi dari perut ibunya, sebelum melecehkan, adalah kejahatan sadis yang sungguh nista.

Theo melirik datar ke arah kliennya yang sedang menundukkan pandangan. Cerita detail bagian ini, baru didengar Theo dari Raesha. Dasar penjahat kelas teri yang cabul, batin Theo, dipahami makna tatapannya oleh Sobri.

"Harap tenang!" Palu hakim kembali terdengar beberapa kali hingga keributan mereda.

"Setelah itu, apa yang terjadi?" lanjut Rizal.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now