Bagian 14.

191 27 5
                                    

Selama Taehyung tinggal di apartemen ini, tidak ada siapapun yang pernah bertamu ke sini. Bahkan seorang Kim Namjoon yang secara hakikat yang membelikan rumah ini, pun, tak pernah bertandang. Pria itu biasanya hanya akan menyuruh anak buahnya: seringnya Jung Hoseok, untuk menjemput Taehyung; dan itu pun hanya menunggu di pelataran gedung. Namun sekarang, seorang laki-laki yang baru-baru ini dikenalnya malah dengan seenak jidat datang. Mereka sempat berdebat sebab Taehyung tidak bisa begitu saja biarkan manusia lain menginvasi rumahnya, tapi Jeon Jungkook adalah seorang yang keras kepala. Pria itu berkali-kali menekan bel tatkala Taehyung menutup intercome. Hasilnya, Taehyung kalah: Jeon Jungkook dipersilakan masuk ke dalam - lebih tepatnya, memaksa diri masuk, bertamu.

Pria itu menyerahkan tas kertas yang dibawanya sejak tadi setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sembari mengedikkan dagu cuek, ia berdalih: "Aku menemukan restoran bubur saat ke sini, jadi kubeli sekalian. Sepertinya itu restoran baru."

Taehyung diam. Menatap tidak mengerti akan tingkah Jeon Jungkook. Perlu waktu beberapa detik untuk tas kertas berpindah ke tangan Taehyung, itu pun dengan sedikit paksaan dari Jeon Jungkook agar Taehyung cepat menerimanya. Taehyung berjalan ke dapur, menaruh tas kertas itu di meja makan.

Sedangkan Jeon Jungkook masih memperhatikan sekitar. Tercenung. Ruangan apartemen ini terlalu kosong, seperti rumah yang baru berpenghuni. Benaknya berpikir apa mungkin Oh Taesung (Kim Taehyung) baru berpindah sehingga masih banyak perabotan yang harus dibeli. Seperti tirai jendela, misalnya.

"Kau tinggal sendiri di sini?"

Jeon Jungkook mendekat. Taehyung mengangguk datar. Diam perhatikan Jeon Jungkook yang melangkah menuju dapur. Kemudian secara lancang membuka lemari pendingin, lalu diam. Taehyung masih menatap lekat. Jeon Jungkook menutup lemari pendingin tanpa mengambil apa yang ia cari. Atau mungkin, karena lemari pendingin kosong, Jeon Jungkook tidak bisa menemukan sesuatu.

"Tidak ada air," kata Taehyung pelan. "Aku lupa membelinya."

Jeon Jungkook berdiri tegap dan berbalik. Ia tidak melakukan apa pun selama beberapa detik. Hanya diam. Mata berserobok satu sama lain. Taehyung mengalihkan pandang.

"Aku akan pergi membeli air sebentar," Jeon Jungkook berucap. "Kau perlu air untuk minum setelah makan."

"Tidak perlu. Aku belum lapar, aku bisa makan nanti."

Terdengar dengusan dari Jeon Jungkook. "Bubur harus di makan sekarang. Kalau tidak, rasanya tidak akan enak lagi. Sudahlah, sementara kau makan, aku akan pergi sebentar beli air."

Taehyung ingin memprotes lagi; ingin berkata bahwa Jeon Jungkook tidak perlu repot-repot membeli air untuknya, namun, sebelum ia sempat melontarkannya, Jeon Jungkook sudah lebih dulu menyabet langkah keluar dari unit apartemennya. Taehyung terdiam setelah Jeon Jungkook pergi. Pikirannya runyam. Ia menatap tas kertas di meja, mengambil bungkusan di dalamnya yang berisi bubur.

Itu masih panas. Asap mengepul, melinting di udara saat ia membuka kotaknya. Aroma bubur yang melayah-layah di udara seketika menjalar ke indra penciumannya. Lezat. Namun belum membuatnya tergerak untuk menyuap.

Benaknya berpikir, memikirkan apa yang membuat Jeon Jungkook susah payah datang ke sini membawakan semangkuk bubur untuknya. Apakah Jeon Jungkook merasa bersalah karena sudah membuatnya dalam bahaya? Ataukah Jeon Jungkook merasa bersalah karena berbicara ketus kepadanya kemarin? Pikiran-pikiran itu mengganggunya. Atau jangan-jangan, Jeon Jungkook membawakan bubur untuknya, yang di dalamnya berisi racun untuk membunuhnya?

Tapi, bubur itu terlalu sedap dipandang. Dari sisi manapun, bubur itu tidak seperti habis diaduk untuk melarutkan racun. Jadi, kalau begitu Jeon Jungkook benar-benar ingin bersimpatik padanya dengan membawakan semangkuk bubur. Agar pria itu tidak terlalu merasa bersalah karena sudah bersikap ketus padanya.

The TruthWhere stories live. Discover now