Bagian 18

177 22 5
                                    

Kim Taehyung berdiri di depan cermin dengan perasaan cemas. Ia menggigiti kuku-kukunya, berpikir keras.

Seorang pegawai di minimarket tempat Kim Taehyung bekerja —terus terngiang-ngiang di pikirannya bagai lirik lagu. Identitasnya terancam, tentu saja, musabab semua pegawai di minimarket tempatnya bekerja pasti mengenalnya.

Total ada lima pegawai di sana. Mereka berganti-gantian shift, seperti saatnya dulu bekerja.

Taehyung memikirkan cara-cara agar Park Jimin tidak bisa mewawancarai salah seorang pegawai, karena pasti, mereka akan berkata sejujurnya. Ia yakin hal itu. Tidak ada alasan yang mengharuskan mereka berbohong. Terlebih lagi, lima-limanya sama tidak menyukainya. Tapi, tidak ada siasat-siasat yang terlintas di kepalanya selain membunuh mereka.

Hati nuraninya berkata untuk membunuh informan tersebut, namun, logikanya menentang keras. Mengatainya ceroboh, karena dengan ia membunuhnya, itu hanya akan membuatnya semakin terperosok ke jurang. Ia pasti akan langsung ketahuan. Yang tahu inisiasi ini hanya dari divisi narkoba, termasuk dirinya.

Taehyung mengela napas gusar. Ia mendongak, menatap atap kamar mandi yang berwarna putih. Pikirannya kosong.

Pintu toilet menderit terbuka. Seseorang mendorongnya sampai terbuka. Taehyung menegakkan kepala, menatap Jeon Jungkook; oknum yang baru saja masuk. Ketukan sepatu larsnya menggema untuk sesaat, sebelum berhenti mendadak.

Mata mereka berseobok. Taehyung membeku, tidak bisa menggerakkan lehernya untuk menoleh ke belakang. Mata hitam itu. Netra itu seakan-akan ingin menenggelamkannya. Taehyung lantas segera mengalihkan pandangan. Telinganya mendengar ketukan sepatu lars itu berjalan mendekat, dan, berhenti tepat di sampingnya.

Dengan suka rela Taehyung bergeser. Mempersilakan Jeon Jungkook menggunakan wastafel. Tidak ada yang bicara. Baik Taehyung dan Jeon Jungkook, sama-sama dibungkam keheningan.

Kaki Taehyung seolah enggan untuk beranjak dari tempatnya. Ia harusnya bergegas pergi dari sini, daripada terjebak dalam satu ruangan hanya berdua dengan Jeon Jungkook. Keinginannya untuk membunuh pria itu kian membesar dari waktu ke waktu.

Toilet kantor polisi. Berdua. Senyap.

Itu momen yang pas, sesungguhnya.

Seharusnya Taehyung tidak mengulur waktu. Ia hanya perlu mengeluarkan pisau lipat dari kantung jaketnya, kemudian mengayunkannya tepat di leher nadi Jeon Jungkook. Dan, selesai.

Tapi, sesuatu seolah-olah menahannya. 'Sesuatu' itu berbisik padanya untuk jangan bertindak gegabah. Untuk itu, ia meloloskan Jeon Jungkook lagi kali ini. Taehyung membenci sesuatu ini.

"Kau ingin menggunakannya lagi?"

Suara serak Jeon Jungkook berhasil menarik Taehyung dari kubangan pikiran. Ia menoleh, menatap cermin. Jeon Jungkook pun melihatnya dari cermin.

Taehyung menggeleng, "tidak."

"Lalu? Kenapa masih di sini?" Satu alis Jeon Jungkook naik.

Taehyung diam beberapa saat. "Ah, benar. Aku harus kembali ke kantor. Mereka pasti membutuhkanku."

Kemudian terdengar tawa dari Jeon Jungkook. Tawa yang renyah. Taehyung termenung, berpikir apa yang lucu dari omongannya sampai membuat Jeon Jungkook terpingkal. Sesaat setelah tawa mereda, Jeon Jungkook berkata, "Mereka tidak perlu dibantu, apalagi dengan pemula sepertimu."

Mata Taehyung menyipit tersinggung. "Kau —"

"Lebih baik kau ke ruangan ketua Kim. Dia, dan mungkin aku, akan membutuhkanmu," sela Jeon Jungkook.

Sukses membuat Taehyung menutup mulut. Jeon Jungkook menyelesaikan cuci tangannya, meraih beberapa lembar tisu di samping wastafel untuk membasuh telapaknya yang basah. Dia menegakkan tubuh, melirik Taehyung lewat cermin.

The TruthWhere stories live. Discover now