Bagian 36

168 18 7
                                    

Matahari tampak malu-malu ketika menunjukan sinar benderangnya di sebalik gunung. Kim Namjoon perlahan membuka mata, mengerjap sejenak sebelum menatap sekeliling. Kipas angin di musim dingin seperti ini menyala, membekukan ruangan dan membuat Namjoon kian mengeratkan selimut.

Namun, gemerisik suara di luar sana membuatnya mengernyit. Tak lama untuk Namjoon mengerti keadaan di mana dirinya terluka parah kemarin, kemudian pingsan tepat di depan kuil kala seorang pendeta membuka pintu, hingga ia berada di sini dengan baju terlepas menyisakan celana panjang bahan hitam dan perban melilit perut.

Ia bersusah payah mendudukkan diri. Mengerang samar kala serangan rasa sakit di perut kembali dituaikan. Ia menopang tubuh dengan telapak tangan yang menekan kasur lipat, menggeser tubuh hingga mencapai pintu dan menggesernya ke samping. Terlihatlah di pelupuk matanya, seorang pendeta yang taat, menyapu halaman yang bertumpuk salju.

Barang kali pendeta tersebut mendengar suara pintu digeser terbuka, beliau menghentikan kegiatannya dan lantas menoleh.

“Oh, kau sudah bangun?”

Sebuah pertanyaan retoris. Namjoon menjawabnya dengan senyum tipis di bibirnya yang pucat.

Pendeta itu tersenyum, kenal sekali dengan tabiat Kim Namjoon yang tak suka basa-basi. Hening sejenak. “Apa kau akan terus berkelahi seperti itu?”

“Itulah caraku bertahan hidup,” Namjoon menjawab pelan, suaranya serak. Ia mendeham sejenak.

“Tipikal Kim Namjoon sekali.” ia mengela napas pelan, menghasilkan embusan asap dingin dari bilah bibir sang pendeta. Ia duduk di undakan tangga dekat kamar di mana Kim Namjoon berada. “Apa Deonggido baik-baik saja sekarang? Aku tidak pernah berkunjung lagi setelah ayahmu meninggal dan memutuskan untuk jadi Budha yang taat.”

“Deonggido baik-baik saja.”

Lee Joonmyeok adalah seorang anggota Deonggido terdahulu bersama ayah Kim Namjoon dan Kim Minjae. Beliau juga berperan penting dalam kemajuan organisasi itu. Namun, setelah kematian ayah Kim Namjoon, Lee Joonmyeok memilih keluar dari Deonggido, memutuskan untuk jadi Budha yang taat dan membotaki seluruh rambutnya. Ia menjadi pengurus kuil di sini, mengabdikan sisa hidupnya sebagai Budha di sini.

“Kau seharusnya tidak mengikuti jejak ayahmu, Namjoon. Kau harus berhenti bertarung, itu hanya akan membuatmu semakin susah.”

Kim Namjoon terkekeh pelan mendengar itu. “Bukankah hidup adalah berperang? Untuk bisa hidup dan diakui di dunia yang kejam ini, aku harus berperang dan menjadi menang.”

Keheningan panjang memuncak. Budha yang taat tak lagi berkata-kata lagi. Napas pria setengah abad itu teratur, tatapannya tenang. Tampaknya menjadi pendeta membuatnya bisa mengendalikan emosi. Namjoon bahkan tak tahu apa yang pria itu rasakan saat ini. Angin dingin menerpa, mencumbu kulit telanjang Namjoon dan membuatnya bergemeretuk.




•••

“Perhatikan! Telusuri jalur-jalur yang kemungkinan besar dilalui Kim Namjoon kemarin. Barat, utara, timur, semuanya! Kita akan melakukan pencarian intens saat ini!”

Kim Seokjin menjadi kapten tim satres narkoba bukan tanpa alasan. Pria ambisius itu memiliki dominasi kuat, bijaksana, dan sebisa mungkin berpikir jernih disaat menemukan kebuntuan. Tatapan mata hitamnya bak elang mengintai musuh, gerak gesitnya bak macan tutul memburu mangsa. Kim Seokjin memang selalu bisa diandalkan.

Papan di depan mereka menunjukan banyak rute yang kemungkinan dilalui mobil sedan hitam yang mengangkut Kim Namjoon kemarin. Seokjin bahkan frustasi saat ia kecolongan, dan begadang lagi untuk membuat sketsa-sketsa sederhana dan dipresentasikan begitu pagi tiba di depan rekan kerjanya. Kantung mata tebal nan hitam di bawah matanya mengimprestasikan betapa kerasnya Kim Seokjin bekerja.

The TruthWhere stories live. Discover now