Bagian 16

170 24 0
                                    

Taehyung baru terbangun pukul setengah delapan pagi.

Ia berbalik, terbatuk-batuk, dan menatap nanar plafon putih di atasnya. Ia benar- benar masih terbaring di pualam dingin sampai pagi ini. Mengigil. Nyeri seluruh tubuh. Dingin. Taehyung meringis, ingin mendudukkan diri, tapi seluruh tubuh tak bisa diajak kompromi. Kepalanya bagai dirajam tatkala ia memaksa bangun, jadilah, ia kembali berbaring.

Taehyung menutup matanya untuk mengurangi pening. Entah sudah berapa lama tubuhnya berbaring mengenaskan sendirian di sini, ia tidak tahu. Yang ia ingat hanya kilasan selintas-selintas: tendangan Jeon Jungkook, panggilan Kim Taehyung oleh mulut Jeon Jungkook, ia meluncur ke bak mobil dari lantai dua bangunan. Lalu, tibalah ia di sini. Berbaring menyedihkan.

Lintasan itu berubah jadi perasaan jengkel. Kenapa ia masih harus dibangunkan seperti ini. Kalau disuruh memilih, Taehyung lebih ingin matanya tertutup selamanya daripada harus menyedihkan seperti ini. Seluruh tubuhnya nyeri, begitu juga dengan hatinya.

Dan selintas lagi, mungkin Kim Minjae memohon kepada Tuhan agar Taehyung dibangunkan lagi untuk membalas dendam pria itu. Dan, Tuhan mengabulkan, dengan syarat Kim Taehyung akan mati setelah berhasil membalas dendam.

Taehyung tertawa tiba-tiba. Parau. Serak. Setetes air mata mengalir di pelipisnya, Taehyung segera menghapus dengan punggung tangan.

Benar, ia tidak boleh mati saat ini. Balas dendamnya belum dibayar. Atau kalau ia mati tanpa menuntaskan balas dendam, ia akan menjadi arwah jahat nantinya. Taehyung tidak mau itu terjadi. Arwah jahat itu tidak akan pernah bisa tenang setelah kematiannya. Taehyung tidak mau. Ia mau tenang setelah mati tanpa memikirkan apapun. Taehyung mengangguk-angguk dengan pemikiran itu. Ia tidak boleh lemah, bersedih, apa lagi putus asa, perasaan-perasaan itu hanya akan membuatnya gamang, seperti kemarin. Ia harus optimis pada tujuannya.

Taehyung membuka mata. Mendeham serak. Ia membangunkan badan dengan bertopang tangan pada pualam, mencoba sekuat tenaga agar tubuhnya tidak manja hanya karena remuk. Tulang-tulangnya bergetar karena dipaksa mengangkat beban. Dalam beberapa saat, Taehyung berhasil berdiri. Sedikit terhuyung-huyung, ia melangkah perlahan menuju kamar.

Ia sempatkan untuk menangkap guci porselen Kim Minjae di matanya. "Maaf, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus mengakhiri apa yang aku mulai," katanya, lalu mematri kaki menuju kamar mandi.

Pintu kamar mandi menderit dan mendebam ketika ia membuka dan menutupnya. Taehyung berdiri di depan cermin wastafel. Menatap pantulan dirinya yang sungguh amat berantakan. Mukanya lebam, sudut bibir robek, pelipis memercik darah kering, lalu tulang hidungnya pun terdapat darah kering. Taehyung mengela napas miris. Ia bergegas membuka jaket dan bajunya, menaruhnya asal di lantai.

Tubuh kerempengnya terekspos jelas. Dan di sana pula —di perutnya— lebam ungu melebar, sementara perban yang sudah berantakan tak bisa menutupi lebam tersebut. Lebamnya masih ngilu tatkala ia mencoba menyentuhnya. Taehyung perlahan-lahan membuka ikatan perban di perutnya, ia gulung kemudian membuang perban bekas ke lantai.

Mungkin kalau ini terjadi dengan orang biasa, mereka mungkin sudah ketakutan dan memaksa diperiksa di rumah sakit. Tapi ini Taehyung. Kim Taehyung. Yang hidupnya hanya dipenuhi angkara untuk membalas dendam. Yang menyerahkan seluruh nyawanya untuk memikirkan siasat-siasat membunuh Jeon Jungkook. Laki-laki muda ini, yang sudah sekarat badan maupun batin, tidak akan peduli dengan kesehatan badannya.

Betapa mirisnya ia.

Taehyung mengambil salep lebam di lemari samping cermin, beserta perban dua gulung, plester, kapas, dan rivanol. Ia mengoleskan salep lebam di perutnya, kemudian dibalut dengan perban berlapis-lapis. Taehyung menggeram, menggigit bibirnya menahan sakit ketika ia mengencangkan lilitan perban. Dan, selesai. Ia refleks mengembuskan napas.

The TruthWhere stories live. Discover now