Bagian 32

151 16 0
                                    

Seorang perawat mengantarkan makanan pada sore hari. Bertanya dengan nada penuh keramahtamahan tentang apa yang Taehyung butuhkan sembari memeriksa infusan Taehyung. Perawat itu juga bilang jikalau tubuh Taehyung berkembang pesat dan dapat pulih dalam waktu yang cepat, setelah itu melengang pergi.

Jeon Jungkook masih berada di sana, duduk tenang sembari memperhatikan Taehyung yang kesusahan makan dengan separuh tak minat sebab tangannya diperban juga. Ia gemas melihat itu. Lalu pada akhirnya, Jeon Jungkook merebut sendok di tangan Taehyung dan mengambil alih.

“Nah,” Jeon Jungkook menyendok sesuap bubur nasi sesendok penuh, “makanlah,” katanya, sembari menyodorkannya tepat di depan mulut Taehyung.

Tapi, Taehyung tak membalas. Tak membuka mulut, tak menolak. Ia membiarkan sendok melayang di udara sementara matanya menatap aneh kepada Jeon Jungkook — lebih tepatnya, kepada perlakuan lelaki itu.

“Kenapa tidak mau buka mulut?”

“Aku bisa sendiri.”

Taehyung hendak merebut sendok tersebut dari tangan Jeon Jungkook, namun pria itu bergegas menjauhkan tangannya. Jungkook menolak saat Taehyung ingin melakukannya sendiri, dan itu membuat kinerja jantung Taehyung dua kali lebih ulet. Taehyung tidak tahu apa yang membuat Jeon Jungkook repot-repot seperti ini untuk membantunya. Entah merasa bersalah atau sekadar rasa iba.

“Jungkook, kau tidak perlu melakukan ini kalau kau merasa bersalah.” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bilah bibir Taehyung yang pucat. Kalau benar pria itu repot melakukan ini karena merasa bersalah, Taehyung akan kecewa.

Jeon Jungkook yang semula memoles senyum, kini meluntur. Tangannya masih mengudara. Matanya lekat menatap obsidian cokelat Taesung yang berbinar redup. Ada ketakutan di sana. Jeon Jungkook tak dapat menafsirkan setiap frasa maupun klausa, tapi Taesung di hadapannya begitu transparan. Mata cokelat itu menyimpan banyak luka, ketakutan — hanya ada itu. Jeon Jungkook tak tahu pengalaman menyakitkan apa yang sudah dialami pemuda ini hingga banyak menyimpan perasaan di dalam matanya.

Mata kecokelatan itu indah, namun sepi. Terlalu sepi.

Pada akhirnya Jeon Jungkook kembali menaruh sendok di mangkuk. Mata hitamnya menatap ke arah Taehyung, kini bibirnya memoles senyum tulus.

“Kau bertahan sampai hari ini karena untuk membalas dendam, 'kan?”

Taehyung tak bisa untuk tak terkesirap kala mendengar kata-kata itu. Jeon Jungkook mengatakannya dengan nada yang tenang dan tatapan mata lembut. Jantung Taehyung berisik.

“Sama, Taesung. Aku juga hidup untuk balas dendam.” Jeon Jungkook mengela napas kasar. Ada jeda sedikit.  “Aku tidak tahu bagaimana awalnya, tapi, aku pernah mengalami kecelakaan sewaktu kecil yang membuat sebagian ingatanku hilang.”

Dua kali, Taehyung terkejut. Tapi ia tak menginterupsi Jeon Jungkook.

Mata Jeon Jungkook menerawang kejadian masa lalu. Ada setitik luka dari binar mata Jeon Jungkook yang menyakitkan. “Aku ingat siapa aku, aku ingat siapa Ibuku, siapa Ayahku, di mana rumahku, tapi aku tidak ingat hal lainnya. Sekeras apapun aku mencoba mengingat-ingat, hasilnya tetap kosong. Seperti memori dalam kepalaku terhapus. Yang aku tahu, ayahku meninggal karena kecelakaan itu, dan ibuku menikah lagi bersama seseorang. Dia lebih memilih orang itu dari pada anaknya sendiri.”

Sebuah kisah yang diceritakan pria itu membuat Taehyung terlempar ke tahun di mana Jeon Jungkook berada di sana.  Sesuatu dalam sanubari Taehyung terusik. Membuatnya ingin menarik Jeon Jungkook ke pelukan.

“Saat usiaku delapan belas, aku baru tahu kalau penyebab ayahku meninggal bukan karena kecelakaan itu, melainkan karena obat yang seseorang masukkan ke dalam infusan ayahku.” Luka di mata Jeon Jungkook kian transparan.

The TruthWhere stories live. Discover now