Bagian 29

127 15 2
                                    

Mereka sudah menunggu untuk memastikan Kim Namjoon bergerak memgincar Kim Mingyu lewat Hong Jisoo. Hari-hari berlalu, namun tak ada kabar apapun yang melihat Kim Namjoon bergerak. Pria itu tetap statis, seolah pembebasan Hong Jisoo bukanlah apa-apa. Padahal mereka tahu, Kim Namjoon sudah tahu berita itu.

Park Jimin mengela napas kasar sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia meregangkan lehernya yang terasa kaku sebab dipaksa tegak berjam-jam lamanya, kepalanya mendongak, menatap langit-langit atap yang putih bersih. “Sepertinya rencana Kapten tidak berjalan mulus. Kim Namjoon tidak bergerak sama sekali.”

“Aku bilang juga apa.” Kim Jisoo mendengus. “Kim Namjoon itu licik. Dia pasti sudah tahu apa yang direncanakan saat ini. Kita bahkan harus repot-repot menyeret Hong Jisoo lagi sekarang.”

“Tidak semudah itu,” sahut Kim Taehyung, memandang Kim Jisoo yang memainkan rambut panjangnya jenuh. “Kita harus mencari kesalahan Hong Jisoo lagi untuk bisa membawa laki-laki itu ke sini. Hong Jisoo orang licik.”

Itu benar. Membawa Hong Jisoo tanpa surat perintah penahan, atau tanpa bukti yang mereka kumpulkan hanya akan menjadi bumerang untuk mereka. Hong Jisoo orang yang pintar, atau lebih tepatnya, licik. Pria itu punya seribu satu cara untuk berkelit, sampai polisi pun tak bisa berkutik. Kim Jisoo mendengus kasar, lalu memposisikan dirinya seperti posisi Park Jimin. Rambutnya yang panjang berwarna hitam dibiarkan menjuntai ke bawah tanpa diikat. Sebuah pemandangan yang jarang sebenarnya, karena Kim Jisoo lebih suka rambutnya terkuncir rapi sehingga bisa bekerja dengan maksimal.

“Percayakan saja pada kapten.” Jeon Jungkook menyahut tanpa bergerak dari posisinya. Kepala sepenuhnya tenggelam di balik komputer. “Berhenti menggerutu dan bekerja lebih giat. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

Kim Jisoo membuang napas keras. Lalu, mendecih sebal. “Aku harus bekerja sekeras apa lagi? Aku bahkan tidak bisa pergi ke salon untuk merawat rambutku. Tidak bisa pergi untuk merawat tubuh dan kuku-ku. Oh, malangnya mereka.” Kim Jisoo mengangkat jemarinya, melihat kuku-kukunya yang berwarna merah dan tumpul. Kuteknya sudah memudar sebab ia tak punya waktu untuk memperbaiki lagi. Waktunya tersita oleh pekerjaan yang sialnya ia suka ini. “Aku bahkan tak punya waktu untuk reuni dengan teman-teman SMA-ku. Malangnya diriku.”

“Apa enaknya reuni SMA,” sahut Park Jimin tanpa menoleh. “Mereka bukan rindu dengan teman-teman. Mereka hanya ingin menunjukkan kesuksesan mereka, berlomba-lomba dalam kekayaan, haus validasi.” ia mendengus. “Tidak ada enaknya.”

“Hei, jangan samakan teman SMA-ku dengan temanmu! Teman kita berbeda.”

“Ya, betul. Tapi kebanyakan begitu. Benarkan, Taesung?"

Taehyung sontak mengerjap-erjapkan mata, memandang tak mengerti. Ia sedikit melamun tadi. Pikirannya kosong. Jadi, ia tak mengerti apa yang diucapkan Park Jimin. “Ya?”

“Teman SMA tidak ada yang asyik, benarkan?” ulang Park Jimin.

“Ah, itu ....” Ada jeda sejenak. Taehyung tak ingat masa-masa SMA-nya. Entah itu pengalaman yang menyenangkan, atau bisa juga pengalaman yang ingin ia lupakan. Taehyung bahkan tak ingat siapa saja teman masa SMA-nya, tapi ia tetap menanggapi apa yang Park Jimin nanti dari jawabannya. “Beberapa, aku rasa menyenangkan bertemu teman SMA. Tapi, beberapa juga melelahkan. Ya, kau tahu, manusia bisa berubah seiring waktu.”

Obrolan ringan terus berlanjut melambung di udara. Sesekali Jeon Jungkook akan menimpali, sesekali pula Kim Taehyung dipaksa memberikan pendapatnya. Park Jimin dan Kim Jisoo tak henti-hentinya berdebat di setiap pergantian topik. Suasana sedikitnya menghangat, kental akan pertemanan di mana terjadi pertengkaran kecil di antaranya. Mereka seperti keluarga. Itu yang Taehyung pikirkan.

The TruthWhere stories live. Discover now