Bagian 25.

186 16 4
                                    

"Ya, kami tidak apa-apa."

Lee Sungkyung menerima telepon dari seseorang. Wajahnya datar, anggun, dan dagu lancipnya terangkat lugas. Ia berdiri menggunakan heels merah lima sentinya tepat di depan dinding kaca hotel milik Kim Namjoon, berada di ruangan Kim Namjoon. Malam begitu pekat. Kaca tak bertirai, menampakan kekelaman abadi dari malam.

Larutnya malam tak lantas membuat perempuan itu lesu ingin istirahat. Ia masih terjaga. Masih dengan make up merona, masih dengan lipstik merah di bibir, dan masih dengan dandanan rambut lurus sepinggang hasil tatanan salon.

"Kalau terjadi sesuatu aku akan mengubungi Anda, Pak." Ia membungkuk pada kesemuan. "Baik, Pak. Terima kasih atas bantuan Anda."

Sambungan telepon dimatikan. Lee Sungkyung menyimpannya di saku belakang jas hitam di tubuhnya. Ia menderap langkah, berdiri di hadapan Kim Namjoon yang diam di singgasana sembari menonton rekaman CCTV. Markas tempat calon anggota organisasi begitu kacau. Ceceran darah di mana-mana. Orang-orang bergelimpangan, seolah nyawa bukanlah hal yang penting. Tatapan Kim Namjoon datar, tak terdistraksi oleh apapun.

"Apa para polisi meminta keterangan pada kita?" Kim Namjoon mengajukan tanya, tanpa bersitatap lawan bicara.

"Akan aku pastikan mereka tidak memanggil kita untuk diinterogasi, Pak." Lee Sungkyung membungkuk sejenak. "Lagipula, hotel ini tidak ada kaitannya dengan markas."

Kim Namjoon mengangguk. Mematikan saluran CCTV dan melirik asistennya. "Bagus. Pastikan mereka menyembunyikan barangku dengan baik. Pastikan juga para polisi tidak mendapatkan apa yang mereka mau."

"Akan aku laksanakan, Pak."

"Bagus."

Lee Sungkyung tersenyum. "Tapi, Pak, sayangnya pihak Joseph mendengar kabar Deonggido diserang oleh orang tak dikenal. Mereka meminta barang mereka sesegera mungkin."

"Kau sudah mengulur waktu?"

"Aku sudah katakan. Mereka bilang, mereka akan memaksa kita untuk mengirim barang seminggu lagi. Kalau tidak, mereka mengancam akan membeli dari pihak lain."

Sejenak, hening. Kim Namjoon masih sama. Tatapannya masih datar tak berekspresi. Ia memutar-mutar kursi, dengan pikirannya yang mengelana. Lee Sungkyung masih berdiri di hadapannya. Berdiri tegap. Kaki-kaki kurusnya begitu lugas menopang tubuh, seolah sudah terbiasa berdiri berjam-jam. Bahkan, Lee Sungkyung pernah berdiri nyaris seharian saat awal-awal menjadi asisten Kim Namjoon.

"Kalau begitu, biarkan mereka melakukannya," ujar Namjoon.

"Sorry, Sir?"

"Biarkan mereka memesan dari pihak lain." Kim Namjoon menjeda ucapan untuk mengambil sebatang marijuana dari kotak rokok di meja. Ia mematik, menyesap, dan menikmatinya sejenak. Asap ditiup, meliuk-liuk di udara dingin. "Mari kita lihat, bisakah mereka berpaling dariku."

Mulut Lee Sungkyung membuka, ingin mengajukan pertanyaan dari kalimat rancu yang Kim Namjoon ucapkan. Tapi, bersamaan dengan itu, dering ponsel pintar Kim Namjoon menderik di atas meja. Nama Kim Taehyung berada di sana, bersama sederet nomor yang berada di bawah nama tersebut. Kim Namjoon menerima telepon. Melambaikan tangan kepada Lee Sungkyung untuk pergi dari sana. Sejenak, Lee Sungkyung kukuh berdiri, namun, kala tatapan Kim Namjoon kembali menyuruhnya pergi, ia pergi.

"Ya, ada apa?"

["Anda tidak apa-apa, Pak? Keadaan di markas sangat kacau saat ini."]

Kim Namjoon perlahan rileks. Melihat kekacauan yang dibuat orang tak dikenal di markasnya sendiri membuat lumbung emosinya teraduk. Tapi, kini, menerima telepon dari Kim Taehyung yang bertanya pasal keadaannya, agaknya, membuat hatinya menghangat santai. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi. Tersenyum tipis.

The TruthWhere stories live. Discover now