19. Keciduk

8.3K 931 610
                                    

"Gue gak mau tau, pokoknya lo harus bujuk Jeevans keluar bareng gue!" Hinava bersedekap dada, keningnya berkerut dengan tatapan tak ramah pada Jasper.

Jasper menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia duduk di pinggir ranjang, menatap sosok yang besar bersamanya selama sepuluh tahun terakhir itu. "Gue bisa aja ngajak Jeevans keluar. Tapi kalo dia nolak, gue gak bisa maksa."

"Ihhh gak becus banget sih lo?" Hinava memelototinya. "Pokoknya harus. Gue mau Jeevans temenin gue ke mall hari ini. Gue gak peduli gimana cara lo ngebujuk dia. Kalo perlu lo berlutut sembah dia kek, biar dia luluh."

"Kenapa lo jadi kekeuh banget mau keluar sama Jeevans? Kan ada gue. Gue bisa temenin lo." Jasper masih berusaha membujuk Hinava. Meski dia baru beberapa bulan tinggal dengan Jeevans, Jasper sudah cukup mengenali kepribadian kuper sang kembaran.

"Gak mau! Gue mau sama Jeevans!" Hinava memelototinya. "Atau lo mau gue aduin ke nyokap lo? Lo tau sendiri nyokap lo selalu patuh sama gue, kan? Masa iya lo pada gak bisa contohin nyokap lo itu."

Jasper menghela nafas berat, bangkit berdiri. "Oke, gue tes dulu. Kalo Jeevans gak mau, gak gak bisa maksa," ujarnya lalu segera berbalik pergi, mengabaikan Hinava yang memelototinya tajam.

Langkah kaki Jasper mengarah pada kamar Jeevans. Dia mengetuknya beberapa kali, sebelum membuka pintu dan melihat bahwa tidak ada sosok Jeevans di kamar tersebut. Pikirannya langsung tertuju pada perpustakaan, sehingga dia kembali menaiki anak tangga ke lantai tiga.

Sebelum dia memasuki perpustakaan, suara dari balkon menarik perhatiannya. Dia bergegas mendekat.

"Jeev." Panggil Jasper, lalu tertegun melihat sang kakak sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Dia tidak tahu siapa sosok itu, dan juga dia tidak peduli. "Gue boleh minta tolong gak?"

"Kak, sebentar, saya ada urusan. Jangan dimatikan dulu panggilannya." Jeevans berbicara pada sosok di ponselnya, sebelum meletakkan benda pipih itu di atas meja dan bangkit mendekati Jasper. "Ada apa?"

Jasper menggaruk tengkuknya. "Itu... anu. Hinava mau ke mall sebentar sore. Lo bisa ikut gak?"

Tanpa berpikir panjang, jawaban Jeevans adalah, "Tidak."

Jawaban ini sesuai ekspektasi Jasper. "Please? Gue jarang kan minta tolong sama lo? Sekali ini aja. Suer!"

Tetap saja Jeevans menggeleng. "Saya tidak bisa."

"Gue ikut. Lo gak bakal sendirian sama Hinava." Tambah Jasper setelah memikirkan alasan mengapa Jeevans menolak. Jeevans susah bergaul, pasti alasannya menolak karena dia merasa canggung dengan Hinava.

Kening Jeevans mengerut samar. "Kenapa saya harus ikut? Bukannya lebih baik kamu dengan dia pergi berdua?"

"Biar memperkuat tali persaudaraan." Jasper menepuk pundak Jeevans. "Biar bagaimana pun juga Hinava adek kita, Jeev. Lo mau buat mamah sedih karena hubungan kita semua renggang?"

Bibir Jeevans terkatup erat. Bayangan wanita paruh baya tadi pagi melewati benaknya, keningnya semakin berkerut.

"Tapi..."

"Sekali ini aja, Jeev."

Jeevans menghela nafas. "Baiklah. Tapi kamu harus ikut."

Rasanya Jasper hampir melompat saking bahagianya mendengar Jeevans menerimanya. Dia hendak maju memeluk, namun Jeevans segera meringsut mundur, mencegahnya disentuh. Tetap saja Jasper tidak mempermasalahkannya dan bergegas pergi untuk memberitahu Hinava bahwa dia berhasil membujuk Jeevans.

***

"Jadi lo tinggal di Belanda selama ini? Asik gak di sana? Rencananya tahun depan gue mau liburan ke sana kalo Papi gak ada urusan." Hinava mencondongkan diri kepada Jeevans yang duduk di sampingnya. Matanya terus melekat pada Jeevans yang sejak tadi diam, memandang ke arah jendela.

REDAMANCYWhere stories live. Discover now