36. She is gentle

7.3K 1K 564
                                    

Dalam perjalanan balik ke apartemen Violet, hening menyelimuti mereka. Jeevans memegang setir dengan kedua tangannya, sibuk mengemudi. Meski demikian, sesekali dia menyempatkan diri melirik sosok di kursi samping yang diam membisu sejak mereka keluar dari mall setelah bermain ice skating.

Mata Violet memandang jendela di sampingnya, sorot pandangnya linglung, seperti fokusnya tidak sedang berada di sana, melainkan pada hal lain.

Percakapan antara dirinya dengan Jeevans sejam lalu terngiang-ngiang di benaknya.

"Jeev, jawab." Violet berbisik, tenggorokannya tercekat sehingga bahkan saat dia bertanya, rasa sakit dan sesak dia rasakan dari tenggorokannya.

Kepala Jeevans menunduk. Tidak ada ekspresi lebih. Wajahnya bahkan tenang dalam mengingat hal-hal yang seharusnya menjadi mimpi buruknya. Tetapi setenang apapun dia menghadapi ingatan itu, tetap saja ada reaksi yang bocor, seperti kerutan samar di keningnya.

Rasa hangat dari sandaran kepala Violet di punggungnya membuat jantungnya yang berdetak tak nyaman karena Violet melihat bekas luka jelek itu mulai menghilang.

"Apa yang perlu saya jawab, kak?" Jeevans menanggapi lembut. "Itu sesuatu yang sudah lama terjadi."

"Siapa yang lukai lo?" Violet mengangkat wajah, sekali lagi pandangannya menyapu punggung cowok itu. "Sakit?" Bisiknya pelan.

Jeevans menoleh, melihat Violet yang terpaku pada punggungnya. Hatinya menjadi lega tidak melihat sorot ngeri yang terpancar dari dua bola mata indah itu. "Tidak sakit lagi."

Kening Violet mengerut, alisnya hampir bersatu. Bibirnya sedikit terbuka, hendak mengatakan sesuatu, namun dia berhenti, menarik nafas dalam-dalam.

Jeevans menurunkan sweaternya, menutupi badannya yang terbuka sebelum membalikkan tubuh agar menghadap Violet. Dia memegang kedua tangan gadis itu, menggenggamnya dan tersenyum. "Saya tidak apa-apa. Kak Cathleen jangan sedih."

"Siapa yang sedih," sangkal Violet sambil membuang muka. Tak ayal, dia tidak bisa menahan diri untuk mengerutkan bibir. "Itu, kalo lo gak mau cerita juga gak papa."

Setiap orang punya rahasia yang tidak ingin dibagikan. Meski Violet sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Jeevans, bayang-bayang seperti apa yang tersembunyi dibalik raut polos dan tenang itu, Violet tidak bisa memaksa dia untuk memberitahunya. Violet masih ingin menghargai keputusan Jeevans.

Sudut bibir Jeevans terangkat. Genggamannya semakin erat. Bahkan, jari jempolnya mengelus lembut punggung tangan gadis itu. "Masa lalu saya tidak begitu penting lagi. Tapi jika kak Cathleen ingin tahu, saya bisa menceritakannya."

Violet berniat tidak ingin memaksa Jeevans mengulik masa lalu demi dia, tetap saja dia tidak bisa menahan diri melirik Jeevans penuh penasaran. Meski demikian, mulutnya berkata lain, "Jangan. Gue gak mau maksa elo."

Jeevans menangkap lirikan Violet, membuatnya menahan senyum. "Saya tidak terpaksa. Saya mau berbagi apapun yang saya punya kepada kak Cathleen. Jadi, apa kak Cathleen mau mendengarkan cerita saya?"

Tanpa sadar Violet mengangguk, lalu termangu dan segera berdeham. "Karena lo bersikeras mau cerita, oke, gue dengerin," ujarnya serius.

Kekehan bocor dari bibir Jeevans. Dia menunduk, menonton bagaimana jari jempolnya mengelus permukaan kulit halus dari punggung tangan gadis itu. "Waktu saya kecil, saya dibawa oleh kakek-nenek ke Belanda. Nenek orang yang tegas. Kakek orang yang serius dan punya disiplin diri yang kuat."

Violet menatap Jeevans yang bercerita dengan tatapan samar, dia semakin serius mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir cowok itu.

"Kakek tidak suka dengan pergaulan anak muda di luar. Sehingga saya sejak kecil hanya bisa home schooling. Kata kakek, banyak orang aneh dan berbahaya di luar yang bisa merusak saya. Saya dilatih untuk kuat, jadi jika saya melakukan kesalahan, saya harus dihukum."

REDAMANCYOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz