34. Ayah-Bunda

8K 1K 755
                                    

"Kak Cathleen suka mancing?" Jeevans yang duduk di kursi pengemudi melirik gadis di kursi seberang. Mereka baru saja tiba di sebuah tempat memancing yang Violet ketahui dari media sosial. Dilihat dari parkiran, nampaknya tempat yang mereka datangi cukup ramai sore ini.

Violet baru saja selesai melepas seatbelt-nya menoleh, melihat ekspresi ragu-ragu Jeevans. Sudut bibirnya perlahan terangkat sembari mencondongkan tubuh ke arah Jeevans. "Suka. Apa lagi mancing lo ke apartemen gue."

Pupil mata Jeevans menyusut, bibirnya sedikit terbuka sebelum wajahnya berubah merah. Reaksi yang sangat disukai Violet saat menggodanya.

Violet menegakkan tubuhnya lagi, mengekeh lembut sembari membuka pintu mobil. "Dulu waktu gue kecil, gue sering mancing di kali. Umpannya pake cacing yang gue gali sendiri."

Kening Jeevans perlahan menampilkan kerutan samar. Tatapannya turun melirik jemari Violet yang lentik. Dia berusaha membayangkan jari itu menyentuh cacing-cacing kotor. Tapi tidak bisa. Jari itu terlalu cantik untuk menyentuh sesuatu yang menggelikan.

Mereka berdua keluar dari mobil, membayar tiket masuk lalu menuju tempat memancing yang merupakan sebuah telaga. Di pinggir telaga sudah cukup penuh, menyisakan beberapa ruang untuk pendatang baru. Kebanyakan pengunjung merupakan pria paruh baya dengan pakaian santai. Setelah Violet menyewa alat memancing serta umpan yang disediakan di tempat tersebut, mereka mengambil kursi kosong dan duduk di pinggir telaga.

"Udah pernah mancing, Jeev?" tanya Violet yang duduk di samping kiri Jeevans, melihat gerakan cowok itu cukup kaku dalam mengaitkan umpan ke kailnya. Padahal dari gerak-gerik Jeevans, dia sudah tahu jawabannya. Tidak.

Benar saja, cowok itu menggeleng lembut dan mengerjap saat melihat umpannya sudah melekat di kail. "Ini pertama kali."

"Nah, setelah pasang umpan, tinggal lempar kayak gini, Jeev." Violet memperagakan cara melempar pancingan. Jeevans menatapnya sejenak, lalu meniru gerakannya sebelum menatap Violet senang karena berhasil. Gadis itu mengekeh. Jika saja tidak mengingat tangannya kotor, dia pasti akan mencubit pipi cowok itu gemas. "Pinter."

Jeevans melirik sekitarnya, lalu pancingan yang dia pegang. Hening sejenak sebelum dia kembali menoleh menatap Violet. "Apa yang kita lakukan selanjutnya?"

Violet bertopang dagu dengan satu tangan. "Nunggu."

Bibir Jeevans sedikit terbuka, namun tidak menyuarakan apapun dan kembali menatap telaga di depannya dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu apa menariknya menunggu ikan terperangkap oleh umpan? Dengan kepribadian tak sabaran Violet, merupakan hal menakjubkan gadis itu memiliki hobi yang membutuhkan banyak kesabaran seperti memancing.

Violet mulai sedikit bosan. Dia menoleh kepada Jeevans sambil mengulurkan pancingannya. "Jeev, pegangin dong. Gue beli makanan di sana dulu," ucapnya sambil menunjuk kantin kecil tak jauh dari tempat mereka berada.

Jeevans mengangguk, menerima pancingan Violet sehingga kedua tangannya masing-masing memegang pancingan. Setelah kepergian Violet, Jeevans linglung sejenak, mengabaikan sisi samping kanannya ditempati oleh seorang pria paruh baya.

"Mas, suka mancing juga?" Basa-basi pria paruh baya itu ramah, membuat Jeevans tersentak dari pikirannya dan menoleh.

Jeevans ragu-ragu sejenak, lalu menggeleng. Bibirnya terkatup erat. Dia tidak suka ini. Membosankan.

Namun pria paruh baya itu tidak melihat gelengannya karena sedang mengaitkan umpan ke kail pancingannya. Setelah melempar kail ke telaga, dia menoleh menatap Jeevans. "Jarang-jarang loh saya lihat anak muda kayak Mas mancing di sini. Tapi memang sih mancing bagus buat kesehatan mental. Mas kan generasi Z nih, mit-amit ya, banyak tuh berita buruk anak zaman sekarang bunuh diri. Jadi harus perbanyak waktu relaksasi menenangkan kayak gini."

REDAMANCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang