21. Didn't let her go

8.4K 1K 686
                                    

"Ngapain di sini?"

Suara itu mengagetkan Hivana yang berdiri di depan pintu kamar Jeevans. Dia berjengit sambil mengeluarkan sumpah serapah, sebelum menoleh hendak mencerca orang yang mengganggu niatnya. Namun begitu tahu orang di belakangnya adalah Jaskaran, dia membeku.

"Ternyata lo." Hinava menelan cercaannya lalu tersenyum kaku. "Gue cuma mau mastiin Jeevans gak kenapa-napa. Semalem heboh banget sampe dokter dateng ke sini."

"Oke. Sekarang bisa minggir?" Potong Jaskaran tak acuh.

Jaskaran menatapnya dengan ekspresi biasa, namun Hinava sedikit tidak nyaman ditatap langsung ke matanya. Tanpa sadar dia melangkah ke samping, memberi akses cowok yang memegang nampan berisi semangkuk bubur itu maju. Baru saja hendak membantunya membuka pintu, niat Hinava terhenti karena Jaskaran bisa melakukannya sendiri. Bahkan, sebelum dia bisa melirik ke dalam kamar Jeevans, pintu kembali tertutup.

"Sial." Rutuk Hinava dengan ekspresi gelap.

Jaskaran meletakkan nampan di atas nakas, menatap Jeevans yang baru keluar dari kamar mandi dengan seragam setengah rapi. Wajah kembarannya masih pucat pasi. Semalam setelah sampai di rumah mereka, Jeevans mengalami demam hingga dini hari. Suhunya panas dan tubuhnya menggigil. Karena panasnya semakin meningkat, akhirnya Jaskaran memanggil dokter keluarga. Untungnya beberapa jam kemudian panasnya turun.

"Jangan ke sekolah, gue udah izin ke wali kelas lo."

"Saya janji kepada Kak Cathleen akan mengantarnya ke sekolah." Jawab Jeevans dengan suara serak. Wajahnya pucat dengan sorot mata sayu. Dia tidak menghentikan dirinya merapikan seragam.

"Lo kuat bawa motor?" Jaskaran berjalan mendekatinya. Dia menyibak poni rambut Jeevans yang menutupi kening, menempelkan punggung tangan ke sana. "Masih panas."

Jeevans menatap Jaskaran, matanya yang sayu penuh tekad. "Saya sudah janji. Janji tidak boleh diingkari," balasnya keras kepala.

"Lo mau kecelakaan karena kondisi lo yang gak fit ini?" Jaskaran menyipitkan mata. Ekspresinya benar-benar serius. "Kalau lo emang mau kalian kecelakaan di jalan, gue gak bakal hentikan niat lo ini. Dampak kecelakaan bisa aja gak ringan. Perjalanan dari apartemen Violet ke sekolah itu padat. Kalau lo oleng dikit aja, bisa bayangin apa yang terjadi, kan?"

Jeevans termangu. Bayangan buruk langsung terbentuk di benaknya. Bibirnya terkatup rapat sejenak, menunduk sedih. "Saya tidak ingin Kak Cathleen terluka..."

"Terus kenapa masih keras kepala?" Jaskaran berkacak pinggang. Untuk menghancurkan sikap keras kepala Jeevans yang naif ini, satu-satunya cara adalah dengan menyadarkannya hal-hal buruk yang akan terjadi pada Violet. Dilihat dari sikap Jeevans semalam yang terus menggumamkan nama Violet, bisa ditebak seberapa penting gadis itu di hati Jeevans.

Kepala Jeevans kembali mendongak. "Tapi saya sudah berjanji, Kak."

"Emang lo tau Violet ada di apartemennya?"

"Mungkin kak Cathleen sudah pulang..." gumam Jeevans sedih.

"Mending lo rehat. Kalo sore ini lo udah baikan, gue gak bakal halangi lo temui si Violet."

"Kak..." Kata-kata Jeevans tersangkut di tenggorokannya saat tatapannya dengan Jaskaran bertemu. Tatapan Jaskaran yang kuat seolah menyatakan dia tidak ingin mendengar alasan apapun, membuat Jeevans semakin sedih. Dia kembali menundukkan kepala.

"Gue udah bawain bubur. Makan, isi perut lo dan minum obat. Setelah itu kembali istirahat." Wanti-wanti Jaskaran sebelum berbalik dan keluar dari kamar tidur Jeevans.

***

"Vot, udah kerja tugas bahasa Indonesia gak lo?" Rajash berkeliaran di sekitar Violet yang duduk lesu seperti lalat menyebalkan yang ingin sekali Violet tepuk hingga mati.

REDAMANCYWhere stories live. Discover now